JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Piring makan kita memiliki jejak karbon yang sangat besar. Peternakan tradisional, terutama sapi, adalah salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Industri ini menghabiskan lahan dan air bersih dalam jumlah yang masif. Saat populasi global terus membengkak, para ahli sepakat model ini tidak lagi berkelanjutan.
Ilmuwan dan inovator kini berlomba mencari solusi radikal. Jawabannya mungkin terdengar aneh, namun sangat potensial: bubuk jangkrik dan daging yang ditumbuhkan di laboratorium.
Protein Efisien dari Serangga
Solusi pertama sebenarnya adalah yang paling kuno, namun paling efisien: serangga. Kini, pasar Barat mempromosikan bubuk jangkrik, ulat hongkong, dan belalang sebagai superfood baru. Alasannya sangat logis dan saintifik.
Serangga membutuhkan sebagian kecil dari lahan, air, dan pakan jika dibandingkan dengan sapi atau ayam. Selain itu, mereka adalah sumber protein lengkap yang produksinya sangat efisien. Bagi miliaran orang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, serangga sudah menjadi bagian dari diet sehari-hari. Tantangan terbesarnya adalah mengubah persepsi di negara-negara yang selama ini menganggapnya “hama” menjadi “pangan”.
Daging Asli Tanpa Sembelih
Solusi kedua terdengar seperti fiksi ilmiah, tetapi sudah hadir di meja kita: cultured meat atau daging lab. Penting untuk Anda catat, ini BUKAN daging palsu berbahan dasar tanaman.
Ilmuwan mengambil sel dari hewan hidup (misalnya sapi atau ayam) dan menumbuhkannya di dalam bioreactor (mirip tangki fermentasi bir). Ilmuwan memberi nutrisi sel-sel itu hingga berkembang biak menjadi jaringan otot, alias daging. Hasilnya adalah daging asli secara biologis, tanpa perlu membesarkan, memberi makan, atau menyembelih jutaan hewan. Potensinya untuk mengurangi emisi dan penggunaan lahan sangatlah besar.
Psikologi Konsumen
Namun, teknologi secanggih apa pun akan gagal jika tidak ada yang mau membelinya. Rintangan terbesar bagi dua inovasi pangan ini bukanlah teknis, melainkan psikologis. Ini adalah “faktor jijik” atau ick factor yang alami pada manusia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Bisakah konsumen mengatasi gambaran mental memakan “bubuk jangkrik” dalam protein shake mereka? Apakah daging yang tumbuh di lab terasa “alami” atau justru “mengerikan”? Menerobos kebiasaan makan yang telah mendarah daging selama ribuan tahun adalah tantangan pemasaran terbesar abad ini.
Kesimpulan
Kita sedang menulis ulang masa depan piring kita. Pada akhirnya, krisis iklim mungkin akan memaksa kita untuk memilih antara kebiasaan lama yang merusak planet atau inovasi baru yang radikal. Pertanyaannya bukan lagi “Bisakah kita membuatnya?”, tetapi “Maukah kita memakannya?”.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















