JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Dalam sejarah, kita sering membayangkan perang sebagai pertarungan simetris: dua tentara dengan kekuatan seimbang bertemu di medan perang. Namun, sebagian besar konflik modern tidak terlihat seperti itu. Sebaliknya, kita menyaksikan pertarungan “David vs. Goliath”.
Secara definisi, Perang Asimetris adalah konflik antara dua aktor yang memiliki perbedaan kekuatan militer, teknologi, dan sumber daya yang sangat signifikan. Pihak yang lemah menghadapi negara adidaya yang memiliki tank, jet tempur, dan satelit.
Oleh karena itu, pihak yang lemah tidak bisa menang dengan bertarung secara adil. Maka, mereka harus mengubah aturan main.
Taktik Pihak Lemah: Mengubah Kelemahan Menjadi Kekuatan
Karena mereka tidak bisa menghancurkan tank musuh dalam pertempuran terbuka, pihak yang lemah mengadopsi strategi yang menargetkan kelemahan terbesar musuh mereka: kemauan politik dan opini publik di negara asal.
Taktik mereka berfokus pada pertempuran jangka panjang untuk menguras sumber daya dan kesabaran musuh:
- Perang Gerilya: Alih-alih pertempuran besar, pejuang gerilya beroperasi dalam unit-unit kecil. Selanjutnya, mereka menyergap patroli, berbaur dengan penduduk sipil, dan menghilang. Tujuannya adalah menciptakan kondisi “berdarah” terus-menerus tanpa ada kemenangan yang jelas bagi musuh.
- Terorisme dan Sabotase: Selain itu, mereka menggunakan terorisme untuk menciptakan ketakutan dan menunjukkan bahwa pemerintah (atau kekuatan pendudukan) tidak mampu menjamin keamanan. Mereka juga mengandalkan sabotase, menargetkan infrastruktur seperti pipa minyak atau jembatan.
- IEDs (Improvised Explosive Devices): Bom rakitan pinggir jalan menjadi senjata pilihan. IED murah untuk dibuat namun sangat efektif untuk menghancurkan kendaraan lapis baja bernilai jutaan dolar. Lebih penting lagi, IED menciptakan stres psikologis yang konstan pada pasukan musuh.
- Perang Informasi: Pihak lemah menggunakan propaganda untuk menggambarkan pihak kuat sebagai “penjajah” brutal. Akibatnya, mereka berusaha memenangkan dukungan lokal dan mempengaruhi opini publik internasional.
Strategi Pihak Kuat: ‘Memenangkan Hati dan Pikiran’
Di sisi lain, pihak yang kuat (Goliath) dengan cepat menyadari bahwa kekuatan militer superior mereka tidak cukup. Bahkan, mengebom sebuah desa untuk membunuh satu penembak jitu adalah kekalahan strategis, karena tindakan itu menciptakan 10 musuh baru dari keluarga korban.
Oleh karena itu, militer modern mengembangkan strategi Kontra-Pemberontakan (COIN / Counter-insurgency).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Fokus COIN bergeser dari “membunuh musuh” menjadi “melindungi rakyat”. Tujuannya adalah memisahkan pemberontak dari penduduk sipil yang menyembunyikan mereka. Ini adalah upaya “memenangkan hati dan pikiran” (winning hearts and minds) melalui pembangunan sekolah, jalan, dan pemerintahan lokal yang bersih.
Namun, strategi COIN sangat sulit, mahal, dan membutuhkan waktu puluhan tahun, sehingga seringkali melebihi kesabaran politik negara demokrasi.
Studi Kasus Sejarah: Vietnam dan Afghanistan
Sejarah penuh dengan contoh kegagalan Goliath:
- Perang Vietnam: Sebagai contoh, Amerika Serikat memenangkan setiap pertempuran besar melawan Viet Cong. Akan tetapi, Viet Cong memenangkan perang. Mereka menggunakan terowongan, perang gerilya, dan dukungan rakyat untuk bertahan lebih lama dari kemauan politik AS. Pada akhirnya, opini publik di AS menentang perang, dan AS terpaksa mundur.
- Perang Afghanistan: Demikian pula, Afghanistan menjadi “kuburan negara adidaya”. Pertama, Uni Soviet gagal menaklukkan Mujahidin pada 1980-an. Kemudian, AS dan NATO menghabiskan 20 tahun (2001-2021) melawan Taliban. Meskipun AS memiliki drone dan teknologi superior, Taliban menggunakan IED, tempat perlindungan di Pakistan, dan kesabaran tanpa batas. Akhirnya, AS menarik diri, dan Taliban mengambil alih kembali negara itu.
Kesimpulan: Perang Politik Mengalahkan Perang Militer
Maka, Perang Asimetris mengajarkan kita satu pelajaran penting: kekuatan militer superior tidak menjamin kemenangan jika lawannya tidak mau bertarung dengan aturan yang sama.
Pihak yang lemah mengganti tank dengan kesabaran, mengganti jet tempur dengan dukungan ideologis, dan mengganti pertempuran terbuka dengan serangan psikologis.
Pada akhirnya, dalam perang asimetris, pihak yang memiliki kemauan politik lebih besar dan mampu bertahan paling lama adalah pihak yang akan menentukan hasil akhir, bukan pihak yang memiliki senjata paling canggih.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















