JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Di rak supermarket di London, menu kafe di New York, hingga meja makan di Sydney, hummus telah menjelma menjadi makanan global. Cocolan lembut berbahan dasar chickpeas (kacang arab) dan tahini (pasta wijen) ini identik dengan makanan sehat dan lezat. Namun, di balik popularitasnya, tersimpan sebuah konflik sengit yang jauh lebih dalam dari sekadar resep.
Bagi dunia, hummus adalah makanan. Bagi Timur Tengah, ini adalah identitas. Fenomena perebutan klaim atas makanan ini dikenal sebagai gastro-politik, dan hummus adalah medan pertempuran utamanya. Berbagai negara di Levant, seperti Lebanon, Israel, Palestina, Suriah, dan Yunani, masing-masing mengklaim sebagai pemilik sah warisan kuliner ini.
Akar Sejarah yang Kabur
Menelusuri jejak hummus seperti mencari jarum di tumpukan jerami sejarah. Secara teknis, chickpeas dan tahini telah menjadi bahan pokok di Timur Tengah selama ribuan tahun. Catatan paling awal tentang hidangan yang mirip hummus berasal dari Kairo pada abad ke-13.
Namun, fakta sejarah ini tidak menghentikan klaim modern. Setiap negara memiliki narasi asal-usulnya sendiri yang dipegang teguh. Masalahnya, di dunia kuno, resep bergerak bebas melintasi perbatasan yang bahkan belum ada. Menentukan satu titik asal mula hummus hampir mustahil secara definitif, membuatnya menjadi lahan subur untuk klaim nasionalistis.
Diplomasi Piring Raksasa
Jika diplomasi politik gagal, gastro-politik mengambil alih. Perebutan klaim ini paling jelas terlihat dalam “Perang Hummus” antara Lebanon dan Israel. Puncaknya adalah persaingan sengit untuk membuat piring hummus terbesar di dunia, sebuah simbol identitas nasional yang sangat harfiah.
Persaingan ini melibatkan pembuatan hummus dalam piring-piring raksasa seberat ribuan kilogram, yang kemudian dicatat oleh Guinness World Records. Bagi Lebanon, ini adalah cara untuk menegaskan bahwa hummus adalah bagian integral dari warisan kuliner mereka yang coba “dicuri”. Bagi Israel, menyajikan hummus sebagai hidangan nasional adalah bagian dari pembentukan identitas negara yang masih muda.
Identitas dalam Semangkuk Cocolan
Pada akhirnya, perang hummus menunjukkan bahwa makanan tidak pernah sekadar pangan. Begitu sebuah hidangan melintasi batas negara dan menjadi komoditas global, ia menjadi rentan terhadap politik.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Hummus telah berevolusi dari sekadar makanan pokok regional menjadi alat politik, simbol identitas budaya, dan representasi konflik yang lebih besar. Saat kita menikmati hummus di kafe favorit kita, kita mungkin tidak sadar bahwa kita sedang mencicipi hidangan yang sarat dengan sejarah, kebanggaan, dan perebutan identitas yang kompleks.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















