JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Sebuah undang-undang krusial—kita bisa ambil contoh RUU Cipta Kerja atau revisi UU Minerba di masa lalu—parlemen mengesahkannya dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Partisipasi publik terasa minim, prosesnya terkesan tertutup, dan ketika draf finalnya akhirnya bisa diakses, isinya sangat menguntungkan kelompok industri tertentu.
Publik bertanya-tanya: Mengapa begitu mendesak? Dan mengapa isinya terasa lebih mewakili kepentingan bisnis daripada kepentingan rakyat?
Ini mungkin bukan sekadar lobi politik biasa. Para analis politik-ekonomi mengenali pola ini sebagai fenomena yang lebih dalam dan berbahaya: “State Capture” atau “Pembajakan Negara”.
Konsep State Capture: Negara yang Dibajak
“State Capture” adalah sebuah konsep di mana kepentingan swasta tidak lagi hanya sekadar “mempengaruhi” kebijakan, tetapi secara aktif telah “menulis” dan “mendikte” aturan hukum demi keuntungan mereka sendiri.
Jika dalam lobi tradisional, korporasi meminta kelonggaran dari regulator, maka dalam state capture, korporasi itulah yang “menyamar” sebagai regulator. Negara, yang seharusnya menjadi wasit, mengubah fungsinya menjadi fasilitator atau bahkan pelayan bagi kepentingan pemilik modal besar. Batas antara kepentingan publik dan kepentingan swasta menjadi kabur.
Lobi, Dana, dan Pintu Putar
Bagaimana kepentingan swasta bisa “membajak” sebuah negara, terutama di era yang tampak demokratis? Mekanismenya canggih, sistemik, dan seringkali berada di wilayah abu-abu hukum:
- Lobi Intensif: Tim hukum dan pelobi profesional dari korporasi besar memiliki akses prioritas ke ruang-ruang pembuat undang-undang. Mereka menyediakan “naskah akademik”, “data ahli”, dan draf pasal yang sudah mereka rancang untuk menguntungkan industri mereka, yang kemudian seringkali pembuat UU adopsi mentah-mentah.
- Politik Transaksional: Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya kampanye politik (baik legislatif maupun eksekutif) sangatlah mahal. Banyak pihak melihat pendanaan kampanye dari korporasi besar sebagai “investasi”. “Utang budi” politik ini kemudian mereka “bayar” setelah pemilu, seringkali dalam bentuk regulasi yang “ramah investasi”—yang sebenarnya berarti “ramah korporasi”.
- Fenomena ‘Revolving Door’ (Pintu Putar): Ini adalah mekanisme paling mulus. Seorang pejabat publik yang bertahun-tahun membuat regulasi di sektor vital (misal: energi, telekomunikasi, perbankan), tiba-tiba setelah pensiun, mendapat jabatan sebagai komisaris atau direktur di perusahaan swasta yang dulu ia regulasi. Ini menciptakan konflik kepentingan yang permanen.
Kesimpulan: Regulasi Milik Siapa?
Ketika state capture terjadi, undang-undang kehilangan rohnya sebagai pelindung publik. Regulasi tidak lagi menjadi produk murni dari kehendak rakyat atau debat ideologis di parlemen.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Regulasi berubah menjadi dokumen legal yang merupakan hasil negosiasi kekuatan—dan seringkali transaksi—antara aparat negara dan para pemilik modal. Pertanyaannya pun bergeser, dari “Apa yang terbaik untuk rakyat?” menjadi “Kepentingan siapa yang pasal ini akomodasi?”
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















