Tangan Tak Terlihat di Era Digital: Masih Relevankah Teori Adam Smith?

Minggu, 9 November 2025 - 16:43 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi, Algoritma platform telah menggantikan

Ilustrasi, Algoritma platform telah menggantikan "Tangan Tak Terlihat" Adam Smith, mengubah cara kerja pasar bebas di era di mana data adalah kekuatan. Dok: Istimewa.

JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Pada tahun 1776, Adam Smith, bapak ekonomi modern, memperkenalkan konsep “Invisible Hand” (Tangan Tak Terlihat) dalam karyanya The Wealth of Nations. Teorinya sederhana namun revolusioner: ketika individu-individu mengejar kepentingan pribadi mereka di dalam pasar yang bebas, sebuah “tangan tak terlihat” akan membimbing mereka untuk secara tidak sengaja menghasilkan manfaat terbesar bagi masyarakat secara keseluruhan.

Bagi Smith, pasar adalah mekanisme desentralisasi yang ajaib. Penawaran dan permintaan menentukan harga, dan persaingan akan mendorong efisiensi dan inovasi. Konteksnya adalah era Revolusi Industri awal, di mana banyak produsen dan konsumen kecil mendominasi pasar dengan informasi yang relatif simetris.

Namun, 250 tahun kemudian, kita hidup di dunia yang sangat berbeda. Pasar kini tidak lagi hanya berbentuk fisik, tetapi juga digital. Pertanyaannya: apakah “tangan tak terlihat” Adam Smith masih relevan di era ekonomi digital?

Platform, Algoritma, dan Data

Ekonomi digital memiliki karakteristik yang unik dan sangat berbeda dari pasar yang Adam Smith bayangkan:

  1. Dominasi Platform: Pasar tidak lagi terdesentralisasi. Sebaliknya, pasar berkonsentrasi pada segelintir platform raksasa (Google untuk pencarian, Meta untuk media sosial, Amazon/Tokopedia untuk e-commerce, Gojek/Grab untuk ride-hailing).
  2. Kekuatan Algoritma: Interaksi manusia tidak lagi murni menggerakkan mekanisme pasar. Algoritma kini menentukan harga (surge pricing), merekomendasikan produk, menampilkan iklan, dan bahkan mengatur siapa yang mendapat pekerjaan (gig economy).
  3. Data sebagai Modal: Informasi tidak lagi simetris. Platform mengumpulkan data dalam jumlah masif tentang setiap pengguna, memberi mereka kekuatan prediktif dan pasar yang belum pernah ada sebelumnya.
  4. Efek Jaringan (Network Effects): Semakin banyak pengguna di sebuah platform, semakin berharga platform tersebut. Hal ini menciptakan hambatan masuk (barrier to entry) yang sangat tinggi bagi pesaing baru.
Baca Juga :  Behavioral Economics: Mengapa Kita Sering Tidak Rasional tentang Uang?

Algoritma sebagai Tangan yang Terlihat

Dalam teori Smith, “tangan tak terlihat” bekerja karena tidak ada satu entitas pun yang mengendalikan pasar. Namun, di era digital, premis ini runtuh.

Algoritma bukanlah kekuatan alam yang netral; ia adalah seperangkat instruksi yang manusia tulis (atau kini, AI latih) di dalam sebuah perusahaan. Tujuannya pun spesifik: memaksimalkan keuntungan platform, bukan (semata-mata) kesejahteraan sosial.

Jika “tangan tak terlihat” adalah mekanisme desentralisasi yang menghasilkan keteraturan, maka algoritma adalah mekanisme sentralisasi yang secara aktif mengatur pasar. Ia bukan lagi “tak terlihat”, melainkan “tangan manajerial yang sangat terlihat” (a very visible managerial hand) milik platform.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Platform memutuskan apa yang Anda lihat, produk apa yang laku, dan berapa harga yang harus Anda bayar. Platform telah mengkurasi dan mempersonalisasi informasi yang Anda terima (misalnya, hasil pencarian Google atau linimasa Facebook) untuk memengaruhi perilaku Anda—baik untuk membeli sesuatu atau sekadar membuat Anda terus scrolling.

E-Commerce dan Gig Economy

Mari kita lihat dua contoh nyata:

  1. E-commerce (Misal: Amazon/Tokopedia): Saat Anda mencari “sepatu lari”, urutan produk yang muncul bukanlah murni hasil dari penawaran dan permintaan. Itu adalah hasil dari algoritma yang kompleks. Algoritma ini mungkin memprioritaskan produk dari penjual yang membayar iklan, produk dengan margin keuntungan tertinggi untuk platform, atau bahkan produk milik platform itu sendiri (misalnya, Amazon Basics). Ini bukan pasar bebas murni; ini adalah etalase toko yang platform atur dengan cermat.
  2. Gig Economy (Misal: Ojek Online): Tawar-menawar bebas tidak mengatur hubungan antara pengemudi ojek online dan penumpang. Algoritma platform bertindak sebagai manajer digital. Ia menentukan tarif secara dinamis (surge pricing), memberikan bonus dan insentif untuk mengontrol pasokan pengemudi, dan menjodohkan pesanan. Pengemudi tidak memiliki kuasa untuk menegosiasikan harga; mereka hanya bisa menerima atau menolak apa yang “tangan” algoritma tawarkan.
Baca Juga :  Mobil Listrik Bekas Rp 100 Jutaan Kian Diburu, Wuling Air EV Jadi Primadona

Adaptasi Teori Smith di Masa Kini

Jadi, masih relevankah Adam Smith? Ya, tapi dengan catatan kritis.

Dorongan manusia untuk mengejar kepentingan pribadi masih menjadi motor penggerak ekonomi, seperti yang Smith katakan. Namun, mekanisme pasar telah berubah secara fundamental.

“Tangan yang Terlihat” dari algoritma milik platform-platform dominan telah menggantikan “Tangan Tak Terlihat” yang ia bayangkan—sebuah kekuatan netral yang muncul dari persaingan bebas. Tangan ini secara aktif dan sengaja membentuk pasar untuk melayani kepentingan pemiliknya.

Relevansi teori Smith saat ini bukan lagi pada deskripsinya tentang cara kerja pasar, melainkan pada tujuannya. Tantangan kita saat ini adalah bagaimana kita, sebagai masyarakat dan pembuat kebijakan, dapat “menjinakkan” tangan-tangan algoritmik yang sangat terlihat ini.

Kita perlu memastikan bahwa kita dapat mengatur kekuatan pasar yang luar biasa dari platform digital—melalui regulasi, kebijakan antimonopoli, dan transparansi data—sedemikian rupa sehingga, seperti harapan Adam Smith, pada akhirnya tetap berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat luas, bukan hanya segelintir raksasa teknologi.

Penulis : Ahmad Haris Kurnia

Editor : Ahmad Haris Kurnia

Follow WhatsApp Channel www.posnews.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7
Doping Genetik: Batas Baru Kecurangan yang Tak Terdeteksi
Banjir Jakarta Makin Meluas: 30 RT Terendam, Air Tembus 90 Cm Usai Hujan Deras
Menteri Supratman, Aturan Penyadapan Bakal Disatukan dalam Satu UU Khusus
Imigrasi Amankan WZ, Buronan Penipuan Rp 2,2 Triliunan Asal China di Batam
Suporter atau Perusuh? Membedah Psikologi Massa di Stadion
Kasus Video Porno Lisa Mariana, Model Cantik Ini Kembali Diperiksa Polisi
Banjir 50 Cm Rendam Tiga Ruas Jalan Jakarta, Lalu Lintas Lumpuh

Berita Terkait

Selasa, 18 November 2025 - 19:26 WIB

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7

Selasa, 18 November 2025 - 19:15 WIB

Doping Genetik: Batas Baru Kecurangan yang Tak Terdeteksi

Selasa, 18 November 2025 - 17:23 WIB

Banjir Jakarta Makin Meluas: 30 RT Terendam, Air Tembus 90 Cm Usai Hujan Deras

Selasa, 18 November 2025 - 16:31 WIB

Menteri Supratman, Aturan Penyadapan Bakal Disatukan dalam Satu UU Khusus

Selasa, 18 November 2025 - 15:59 WIB

Imigrasi Amankan WZ, Buronan Penipuan Rp 2,2 Triliunan Asal China di Batam

Berita Terbaru

Ilustrasi, LeBron James dan CR7 masih mendominasi di usia 40-an. Rahasianya bukan hanya latihan keras, tapi sains pemulihan (recovery) yang ekstrem. Dok: Istimewa.

SPORT

Rahasia Panjang Umur Karier LeBron James dan CR7

Selasa, 18 Nov 2025 - 19:26 WIB