JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Selama beberapa dekade, dunia hidup dalam mantra globalisasi. Barang, modal, dan ide mengalir nyaris tanpa hambatan melintasi perbatasan, menjanjikan efisiensi dan kemakmuran. Namun, era keemasan itu tampaknya meredup.
Kini, sebuah kata kunci baru mendominasi diskusi ekonomi dan geopolitik: deglobalisasi.
Ini bukan sekadar slowbalisation—istilah yang menggambarkan pelambatan laju globalisasi pasca-krisis keuangan 2008. Deglobalisasi adalah sebuah pembalikan arah yang lebih fundamental. Ia menandakan perlambatan, dan dalam beberapa kasus, pembalikan integrasi ekonomi global yang disengaja.
Faktor Pendorong Perubahan
Beberapa kekuatan besar mendorong pergeseran struktural ini. Pertama adalah ketegangan geopolitik. Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok menjadi pemicu utama, mengubah kalkulasi dari murni ekonomi menjadi keamanan nasional.
Kedua, pandemi COVID-19 datang sebagai alarm yang mengejutkan. Kuncitama global mengungkap betapa rapuhnya rantai pasok dunia. Ketergantungan total pada satu atau dua negara untuk pasokan medis vital, semikonduktor, atau bahan baku tiba-tiba terlihat sangat berisiko.
Selanjutnya, tuntutan publik di dalam negeri juga berubah. Nasionalisme ekonomi kembali menguat. Slogan seperti Made in America atau dorongan untuk kedaulatan industri di Eropa mendapat dukungan politik yang luas, mendorong pemerintah untuk lebih proteksionis.
Wajah Baru Rantai Pasok
Tren ini bermanifestasi dalam dua strategi utama yang mengubah peta perdagangan global.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Strategi pertama adalah reshoring, yaitu upaya aktif memulangkan pabrik dan fasilitas produksi kembali ke negara asal. Tujuannya adalah mengurangi ketergantungan dan mengamankan pasokan domestik untuk barang-barang strategis.
Strategi kedua adalah friend-shoring, sebuah konsep yang lebih baru dan lebih politis. Ini berarti negara-negara memilih untuk berdagang, berinvestasi, dan membangun rantai pasok hanya dengan negara-negara sahabat yang sejalan secara ideologi dan geopolitik, meskipun biayanya mungkin lebih mahal.
Globalisasi yang Bertransformasi
Penting untuk dicatat bahwa deglobalisasi tidak berarti dunia akan kembali terisolasi total seperti di masa lalu. Globalisasi tidak mati.
Namun, apa yang kita saksikan adalah transformasinya. Era globalisasi yang hiper-efisien dan buta politik telah berakhir. Globalisasi di masa depan akan menjadi lebih regional, lebih politis, dan tidak lagi se-terbuka dulu. Efisiensi biaya bukan lagi satu-satunya raja; ketahanan dan keamanan nasional kini menjadi pertimbangan utama.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















