JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Dulu, orang menganggap pasar loak atau toko baju bekas (thrifting) sebagai tempat yang kumuh dan berdebu. Ini adalah pilihan terakhir bagi mereka yang tidak mampu membeli barang baru. Namun, dalam satu dekade terakhir, sebuah pergeseran seismik telah terjadi.
Saat ini, thrifting adalah sebuah lencana kehormatan. Anak-anak muda dengan bangga memamerkan OOTD (Outfit of the Day) mereka di media sosial dengan takarir ini thrifted. Thrifting telah bertransformasi dari sekadar aktivitas hemat menjadi sebuah gerakan budaya. Ini adalah pernyataan gaya hidup dan bahkan sikap politik melawan industri mode arus utama.
Tiga Alasan Pergeseran Citra
Perubahan citra thrifting dari “kumuh” menjadi “keren” tidak terjadi begitu saja. Ada tiga faktor pendorong utama di baliknya:
- Keunikan (Anti-Seragam) Di dunia yang didominasi oleh fast fashion (seperti Zara atau H&M), semua orang berisiko memakai pakaian yang seragam. Thrifting menawarkan keunikan. Ini adalah perlawanan terhadap keseragaman. Anda bisa menemukan jaket vintage unik atau kemeja dengan corak aneh yang tidak akan dimiliki oleh orang lain.
- Keberlanjutan (Sustainable) Kesadaran akan dampak buruk industri fast fashion semakin meningkat. Industri ini adalah salah satu pencemar terbesar di dunia. Thrifting adalah bentuk nyata dari mode berkelanjutan (sustainable fashion). Ini adalah tindakan etis untuk memperpanjang umur pakaian dan mengurangi limbah tekstil.
- Harga (Perburuan Merek) Tentu saja, faktor harga tetap relevan, tetapi dengan pergeseran fokus. Sensasinya bukan lagi sekadar membeli baju murah. Sensasinya adalah “sensasi berburu”. Ada dopamine rush tersendiri saat seseorang berhasil menemukan “harta karun”. Harta itu misalnya brand mewah dengan harga yang sangat miring.
Seni Berburu Harta Karun
Berbeda dengan belanja di mal, thrifting bukanlah sekadar transaksi. Ini adalah sebuah seni. Tidak semua orang bisa sukses melakukannya. Kunci sukses berburu di pasar loak adalah kesabaran. Pembeli harus mengaduk-aduk tumpukan baju, memiliki mata yang jeli melihat potensi, dan memeriksa setiap detail (noda, sobek, atau kancing yang hilang).
Gentrifikasi Thrifting
Ironisnya, popularitas thrifting kini menciptakan masalah baru: gentrifikasi thrifting. Ketika thrifting menjadi tren, banyak penjual online “mengkurasi” barang-barang terbaik. Mereka membersihkannya dan menjualnya kembali di Instagram dengan harga berkali-kali lipat.
Akibatnya, harga di pasar loak tradisional ikut terkerek naik. Fenomena ini menuai kritik. Ini menyulitkan kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan pakaian bekas murah, yang merupakan pelanggan asli pasar loak. Mereka sekarang harus bersaing harga dengan para influencer yang mencari konten atau reseller yang mencari keuntungan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















