JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Bagi sebagian besar orang, sepatu kets adalah alas kaki. Namun, bagi sekelompok orang, itu adalah aset. Fenomena orang rela mengantre berhari-hari, mengikuti undian (raffle) di aplikasi, dan membayar harga resell lima kali lipat harga ritel untuk sepasang sepatu sudah menjadi hal biasa.
Orang-orang bahkan menyimpan sepatu yang tidak terpakai dalam kotak akrilik dan memperlakukannya seperti karya seni. Ini adalah dunia sneaker culture, sebuah subkultur global yang telah mengubah alas kaki sederhana menjadi simbol status, identitas, dan instrumen investasi.
Dari Lapangan ke Panggung
Semua ini tidak terjadi dalam semalam. Akar kultur ini tertanam kuat dalam dua pilar budaya: bola basket dan musik hip-hop. Pada 1980-an, Nike mengontrak Michael Jordan dan merilis Air Jordan 1. Sepatu itu lebih dari sekadar perlengkapan olahraga; itu adalah simbol pemberontakan dan kehebatan.
Selain itu, pada saat yang sama, grup hip-hop seperti Run-DMC mendedikasikan lagu untuk sepatu Adidas Superstar mereka. Mereka menolak tali sepatu dan mengangkat lidah sepatu, menjadikannya seragam bagi sebuah generasi. Dari sanalah, sneakers berevolusi dari fungsi menjadi pernyataan identitas.
Identitas Sneakerhead
Di jantung kultur ini adalah para sneakerheads. Mereka bukan sekadar kolektor; mereka adalah sejarawan, kurator, dan antusias. Menjadi sneakerhead bukan soal memiliki sepatu terbanyak, tetapi soal pengetahuan.
Mereka adalah orang-orang yang hafal kode colorway (kombinasi warna), cerita di balik desain, dan tanggal rilis. Bergabung dengan komunitas ini berarti memiliki identitas. Memakai sepasang sepatu langka di jalan adalah cara berkomunikasi tanpa kata dengan sneakerhead lain. Ini adalah penanda status dan pengetahuan yang spesifik.
Seperti banyak subkultur lainnya, popularitas seringkali mengundang masalah. Pertanyaan besarnya: Apakah kultur ini masih otentik, atau sudah sepenuhnya didominasi oleh hype dan komersialisme murni?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Banyak “OG” (penggemar lama) merasa reseller yang menggunakan bot telah merusak kultur ini, hanya untuk menjualnya kembali dengan harga selangit. Fokusnya bergeser dari “cinta pada desain” menjadi “cinta pada label harga”. Akan tetapi, di sisi lain, komersialisme inilah yang membuat brand terus berinovasi. Kultur sneakers kini terjebak dalam perdebatan abadi antara otentisitas komunitas dan kekuatan pasar.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















