JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Pernahkah kamu merasa harus membeli produk perawatan kulit yang sedang viral di TikTok? Atau tiba-tiba tertarik berinvestasi di aset kripto hanya karena semua orang di media sosial membicarakannya? Jika ya, kamu mungkin sedang mengalami FOMO atau Fear of Missing Out. Namun, di sisi lain, pernahkah kamu merasa lega saat memilih untuk menabung daripada ikut tren terbaru? Itulah JOMO atau Joy of Missing Out.
Bagi Generasi Z, dunia finansial adalah medan pertempuran konstan antara dua kekuatan psikologis ini. Keputusan mereka untuk membelanjakan atau menyimpan uang tidak lagi hanya berdasarkan kebutuhan, tetapi juga pada perang batin antara tekanan sosial dan pencarian ketenangan pribadi.
Jebakan FOMO: Belanja dan Investasi Impulsif
FOMO adalah kecemasan yang muncul karena merasa orang lain sedang mengalami hal-hal positif yang tidak kita alami. Di era media sosial, FOMO menjadi pendorong utama di balik banyak keputusan finansial anak muda.
- Konsumsi Berbasis Tren: Algoritma media sosial secara konstan menyodorkan produk-produk viral, mulai dari fesyen hingga gawai terbaru. Akibatnya, tekanan untuk tetap relevan dan menjadi bagian dari percakapan online mendorong pembelian impulsif. Sering kali, seseorang membeli barang bukan karena kebutuhan, melainkan karena takut dianggap ketinggalan zaman.
- Investasi Berisiko Tinggi: Selain itu, FOMO juga merambah ke dunia investasi. Ledakan tren saham meme atau aset kripto sering kali didorong oleh cerita sukses instan yang viral. Oleh karena itu, banyak anak muda ikut berinvestasi tanpa riset mendalam, hanya karena takut kehilangan peluang emas untuk kaya mendadak.
Psikologi di baliknya sangat kuat. FOMO memicu keinginan untuk mendapatkan validasi sosial dan kepuasan instan, dua hal yang sangat mudah terstimulasi di dunia digital.
Kebangkitan JOMO: Ketenangan di Atas Segalanya
Sebagai reaksi terhadap bombardir tren yang melelahkan, muncullah gerakan tandingan: JOMO. Ini adalah perasaan puas dan tenang yang datang dari keputusan sadar untuk tidak ikut-ikutan. Dalam konteks finansial, JOMO mewakili pergeseran prioritas.
- Konsumsi Sadar: Penganut JOMO lebih memilih membeli barang berdasarkan fungsi dan kualitas, bukan popularitas. Mereka justru menikmati ketenangan karena tidak harus terus-menerus mengikuti tren yang datang dan pergi.
- Menabung untuk Tujuan Jangka Panjang: Alih-alih menghabiskan uang untuk barang-barang viral, mereka lebih fokus menabung untuk tujuan yang lebih bermakna. Misalnya, untuk dana darurat, investasi jangka panjang yang aman, atau pengalaman seperti traveling.
- Menolak Utang Konsumtif: JOMO sering kali berjalan seiring dengan keengganan untuk mengambil utang demi gaya hidup, seperti melalui layanan paylater untuk barang-barang yang tidak esensial.
Bagi penganut JOMO, kebebasan finansial dan kesehatan mental jauh lebih berharga daripada validasi dari tren sesaat.
Menemukan Keseimbangan
Kenyataannya, banyak anak muda berada di antara dua kutub ini. Mereka bisa saja menjadi korban FOMO hari ini, lalu menjadi penganut JOMO keesokan harinya. Perang batin ini menyoroti kebutuhan krusial akan literasi keuangan yang lebih dari sekadar cara mengelola anggaran.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Generasi Z perlu memahami psikologi di balik keputusan finansial mereka. Dengan begitu, mereka dapat membedakan mana keinginan yang benar-benar datang dari diri sendiri, dan mana yang hanya merupakan gema dari tekanan sosial di dunia maya. Pada akhirnya, kunci untuk kesehatan finansial di era ini adalah menemukan keseimbangan: menikmati hidup tanpa harus kehilangan kendali atas masa depan.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia