JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Anda baru saja membeli rok tenis yang viral di TikTok. Namun, saat Anda memakainya, linimasa Anda sudah beralih ke coastal grandmother aesthetic. Selamat datang di era micro-trends, sebuah fenomena di mana siklus mode menjadi sangat cepat sehingga sebuah tren bisa lahir, meledak, dan dianggap kuno hanya dalam hitungan beberapa bulan, bahkan minggu.
Dulu, siklus tren mode berjalan tahunan, ditentukan oleh desainer di panggung runway. Kini, siklus itu ditentukan oleh algoritma For You Page (FYP) TikTok, dan kecepatannya menjadi brutal.
Apa Sebenarnya Micro-Trend?
Berbeda dengan macro-trend (seperti jeans) yang bertahan puluhan tahun, micro-trend adalah gaya sesaat yang meledak popularitasnya secara ekstrem dan menghilang sama cepatnya. Rata-rata siklus hidupnya hanya 3 hingga 6 bulan.
Tren ini seringkali sangat spesifik. Ini bukan hanya “gaun”, tapi strawberry dress dari Lirika Matoshi. Ini bukan hanya “sepatu”, tapi sepatu loafer spesifik dengan kaus kaki putih. Kecepatan ini menciptakan tekanan baru dalam konsumsi fashion.
Algoritma TikTok
Aktor utama di balik percepatan ini adalah algoritma TikTok. Algoritma ini dirancang untuk mengidentifikasi konten yang menarik perhatian dan menyebarkannya secara eksponensial dalam waktu singkat.
Ketika sebuah video OOTD (Outfit of the Day) dengan gaya tertentu menjadi viral, algoritma akan mendorongnya ke jutaan pengguna. Para influencer lain ikut membuatnya, brand fast fashion (seperti Shein) memproduksinya secara massal dalam hitungan hari, dan dalam sekejap, semua orang memakai hal yang sama. Namun, karena semua orang terekspos secara bersamaan, kebosanan pun datang lebih cepat.
Konsumerisme dan Krisis Identitas
Kecepatan siklus micro-trends ini memiliki dua dampak negatif yang signifikan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertama, ini mendorong konsumerisme berlebihan. Ada rasa Fear of Missing Out (FOMO) yang konstan. Konsumen merasa harus membeli barang tersebut sekarang juga, karena minggu depan mungkin sudah tidak relevan. Ini memperburuk masalah limbah tekstil dari fast fashion.
Kedua, ini menciptakan kebingungan dalam menemukan gaya pribadi (personal style). Ketika kita terus-menerus mengejar tren berikutnya, kita kehilangan kesempatan untuk benar-benar memahami apa yang kita sukai. Kita akhirnya hanya meniru apa yang sedang populer, bukan mengekspresikan identitas kita.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















