JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Pemandangan ini mungkin sudah tidak asing lagi: antrean panjang di gerai kopi bermerek internasional, orang-orang rela membayar lebih dari Rp50.000 untuk segelas minuman, dan dalam hitungan menit, cangkir dengan logo ikonik itu muncul di unggahan media sosial. Pertanyaannya, apakah rasa kopi itu benar-benar sepadan dengan harganya?
Bagi banyak orang, jawabannya mungkin tidak relevan. Fenomena ini bukanlah sekadar transaksi untuk mendapatkan kafein, melainkan sebuah pertunjukan sosial. Kita tidak hanya membeli kopi; kita membeli status yang menyertainya.
Ini adalah cerminan sempurna dari sebuah teori klasik berusia lebih dari seabad, gagasan dari ekonom dan sosiolog Thorstein Veblen: Conspicuous Consumption atau “Konsumsi Mencolok”.
Teori di Balik Gengsi
Pada tahun 1899, dalam bukunya The Theory of the Leisure Class, Veblen mengamati bahwa kelas atas (kaum kaya baru pada masanya) tidak membeli barang mewah semata-mata karena nilai guna atau kualitasnya. Sebaliknya, mereka membeli barang-barang tersebut justru karena harganya mahal.
Bagi Veblen, seseorang harus memamerkan kekayaan agar memiliki nilai sosial. Konsumsi mencolok adalah cara untuk mendemonstrasikan status sosial dan kekayaan seseorang secara publik. Membeli barang yang jelas-jelas mahal dan mungkin tidak praktis adalah sinyal kuat kepada masyarakat: “Saya mampu.”
Analisis Segelas Kopi
Lalu, bagaimana secangkir kopi—sebuah komoditas yang relatif sederhana—bisa masuk ke dalam teori Veblen? Jawabannya terletak pada apa yang merek-merek kopi papan atas jual.
Pertama, Merek dan Logo sebagai Lencana Status. Saat Anda memegang cangkir dengan logo putri duyung hijau atau inisial minimalis dari kedai kopi specialty terkenal, Anda tidak hanya memegang kopi. Anda memegang sebuah simbol yang orang kenali secara instan. Logo tersebut berfungsi sebagai “lencana kehormatan” yang mengkomunikasikan selera, kemampuan finansial, dan keanggotaan Anda dalam kelompok sosial tertentu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kedua, Pengalaman sebagai Penanda Kelas. Merek-erek ini tidak hanya menjual minuman; mereka menjual “pengalaman”. Desain interior kafe yang chic dan ‘Instagrammable’, alunan musik yang telah mereka kurasi, dan suasana yang sibuk namun santai—mereka merancang semuanya untuk menciptakan lingkungan yang eksklusif.
Dalam analisis Veblen, ini bukan tentang minum kopi. Ini tentang terlihat minum kopi di tempat yang tepat. Media sosial kemudian bertindak sebagai akselerator, mengubah konsumsi pribadi menjadi pertunjukan publik global.
Perlombaan Status Digital
Di era digital, teori Veblen menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Media sosial adalah panggung utama untuk konsumsi mencolok. Setiap unggahan adalah bentuk komunikasi sosial, sebuah upaya sadar atau tidak sadar untuk memposisikan diri dalam hierarki sosial.
Kita semua, pada tingkat tertentu, masuk dalam perangkap perlombaan status ini. Kopi mahal hanyalah salah satu dari sekian banyak properti panggung—bersama dengan sepatu kets edisi terbatas, gawai terbaru, dan liburan eksotis—yang kita gunakan untuk menceritakan siapa kita (atau siapa kita ingin terlihat).
Pada akhirnya, segelas kopi yang Anda beli mungkin memang enak. Namun, gengsi yang Anda rasakan saat membelinya, memegangnya, dan memamerkannya, seringkali merupakan kenikmatan utamanya. Seperti yang telah Veblen tunjukkan, terkadang apa yang kita konsumsi tidak sepenting apa yang konsumsi tersebut komunikasikan.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















