Hantu Kolonialisme: Peta Dunia yang Tak Pernah Adil

Selasa, 28 Oktober 2025 - 06:15 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi, Warisan penjajahan bukan hanya sejarah. Dari peta Afrika yang lurus hingga konflik etnis, Teori Pascakolonialisme membongkar akarnya. Dok: Istimewa.

Ilustrasi, Warisan penjajahan bukan hanya sejarah. Dari peta Afrika yang lurus hingga konflik etnis, Teori Pascakolonialisme membongkar akarnya. Dok: Istimewa.

JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Mengapa begitu banyak negara di Afrika dan Timur Tengah memiliki garis perbatasan yang lurus kaku? Peta mereka seolah ditarik menggunakan penggaris. Mengapa negara-negara yang sama, puluhan tahun setelah merdeka, masih banyak yang terjebak dalam konflik etnis atau sektarian yang seolah tak berkesudahan?

Banyak orang menganggap era penjajahan (kolonialisme) telah berakhir seiring dengan kemerdekaan formal. Namun, bagi para pemikir Teori Pascakolonialisme (Post-Colonialism), kata pasca (setelah) itu sangat menipu. Hantu kolonialisme tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berganti bentuk dan terus membekas, mendefinisikan struktur politik dan ekonomi global hingga hari ini.

Penjajahan Belum Berakhir

Teori Pascakolonialisme adalah sebuah lensa kritis untuk menganalisis warisan abadi dari penjajahan Eropa. Teori ini berargumen bahwa kemerdekaan politik tidak secara otomatis berarti kemerdekaan ekonomi, budaya, atau psikologis.

Struktur kekuasaan yang penjajah bangun tidak hilang begitu saja. Ini termasuk ekonomi yang fokus pada ekspor bahan mentah dan budaya yang menganggap Barat lebih superior. Narasi ini terus berlanjut. Teori ini membongkar cara berpikir (mindset) penjajah dan yang dijajah. Cara berpikir ini masih memengaruhi kita memandang dunia, dari standar kecantikan hingga definisi “negara maju”.

Baca Juga :  Resep Damai: Mengapa Demokrasi Tak Saling Serang

Peta Artifisial dan Dominasi Narasi

Warisan kolonialisme yang paling terlihat dan paling brutal ada di peta dunia. Dalam Konferensi Berlin (1884-1885), para kekuatan Eropa secara harfiah “membagi-bagi” benua Afrika. Mereka tidak mengindahkan realitas etnis, suku, atau bahasa di lapangan.

Garis batas artifisial yang mereka gambar di peta ini adalah bom waktu. Batas ini seringkali secara paksa menyatukan dua atau lebih kelompok etnis yang merupakan musuh bebuyutan ke dalam satu “negara” baru. Di saat yang sama, batas itu memecah belah satu suku bangsa yang koheren. Mereka terpaksa menjadi warga negara di tiga atau empat negara berbeda. Inilah akar dari banyak perang saudara dan gerakan separatis yang melanda negara-negara pascakolonial.

Baca Juga :  Pratama Arhan Resmi Bercerai dari Azizah Salsha, Fokus Karier di Bangkok United

Selain itu, dominasi berlanjut melalui bahasa. Bahasa Inggris atau Prancis seringkali menjadi bahasa pengantar resmi, meminggirkan bahasa lokal dalam urusan pemerintahan dan pendidikan. Dalam diplomasi global, narasi dari negara-negara Barat masih mendominasi cara kita memahami isu-isu internasional.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Membongkar Warisan Penjajahan

Teori Pascakolonialisme mengajarkan kita bahwa kesenjangan dan konflik global saat ini bukanlah sebuah kecelakaan. Kita tidak bisa memahami mengapa banyak negara kaya sumber daya alam tetap miskin. Kita juga sulit mengerti mengapa konflik etnis terus meletus, tanpa membongkar warisan penjajahan.

Struktur yang pincang ini adalah sebuah desain. Para penjajah membuatnya berabad-abad lalu untuk kepentingan eksploitasi. Selama kita belum membongkar sisa-sisa struktur kekuasaan ini, baik di peta maupun di pikiran kita, dunia akan tetap menjadi tempat yang tidak pernah adil.

Penulis : Ahmad Haris Kurnia

Editor : Ahmad Haris Kurnia

Follow WhatsApp Channel www.posnews.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Wacana PPPK Jadi PNS Mencuat Lagi, DPR: Belum Masuk Pembahasan Resmi UU ASN
Bekasi Tetapkan Status Siaga Darurat Banjir Hingga April 2026, Warga Diminta Waspada
Banjir Kepung Jakarta Selatan, 27 RT Terendam, Air Capai 110 Cm
Pohon Rengas Tumbang di Dharmawangsa, 5 Mobil Ringsek – 2 Warga Luka
Mayat Pria di Siak Dikubur Berterpal, Polisi Ungkap Luka Sadis di Kepala dan Leher
BNN Luncurkan “Jaga Jakarta Tanpa Narkoba”, Tangkal Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Harvey Moeis Resmi Masuk Lapas Cibinong, Eksekusi Vonis 20 Tahun Penjara Kasus Timah
Sulap Baju Lama, Sebuah Fenomena Upcycling

Berita Terkait

Kamis, 30 Oktober 2025 - 21:26 WIB

Wacana PPPK Jadi PNS Mencuat Lagi, DPR: Belum Masuk Pembahasan Resmi UU ASN

Kamis, 30 Oktober 2025 - 21:03 WIB

Bekasi Tetapkan Status Siaga Darurat Banjir Hingga April 2026, Warga Diminta Waspada

Kamis, 30 Oktober 2025 - 19:56 WIB

Banjir Kepung Jakarta Selatan, 27 RT Terendam, Air Capai 110 Cm

Kamis, 30 Oktober 2025 - 19:28 WIB

Pohon Rengas Tumbang di Dharmawangsa, 5 Mobil Ringsek – 2 Warga Luka

Kamis, 30 Oktober 2025 - 19:03 WIB

Mayat Pria di Siak Dikubur Berterpal, Polisi Ungkap Luka Sadis di Kepala dan Leher

Berita Terbaru

Banjir besar melanda Jakarta Selatan, 27 RT terendam hingga 110 cm usai hujan deras. BPBD kerahkan petugas, warga diminta waspada potensi banjir susulan. (BPBD)

JABODETABEK

Banjir Kepung Jakarta Selatan, 27 RT Terendam, Air Capai 110 Cm

Kamis, 30 Okt 2025 - 19:56 WIB