JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Dahulu, kita mungkin menunggu majalah bulanan terbit untuk melihat tren fashion terbaru. Kini, kita membuka TikTok atau Instagram dan dalam hitungan detik, kita “teracuni” untuk membeli pelembap baru, kaus yang sedang viral, atau sepatu kets edisi terbatas.
Inilah fenomena “racun” influencer, sebuah kekuatan pemasaran baru yang telah mengubah cara kita mengambil keputusan pembelian secara drastis.
Efek Teman Dekat
Otoritas selera telah bergeser. Iklan brand besar di televisi atau halaman majalah glossy kini terasa jauh, mahal, dan impersonal. Sebaliknya, seorang micro-influencer dengan 10.000 pengikut yang bercerita tentang produk baru terasa seperti rekomendasi dari seorang teman dekat.
Ini adalah kekuatan psikologis dari relatability (keterhubungan). Kita tidak membeli karena kualitas sinematik iklannya; kita membeli karena kita percaya pada “teman” kita. Mereka terasa otentik, menggunakan bahasa sehari-hari, dan terkadang menunjukkan kekurangan mereka. Oleh karena itu, rekomendasi mereka terasa lebih jujur dan personal.
Mekanisme Racun Bekerja
Influencer mengeksekusi kekuatan ini melalui format konten yang sangat spesifik dan efektif, terutama di platform video pendek seperti TikTok dan Instagram Reels.
Video haul (menunjukkan borongan belanja) memberi kita dopamine rush seolah-olah kita ikut berbelanja. Video OOTD (Outfit of the Day) menunjukkan bagaimana produk tersebut dapat kita gunakan dalam konteks “kehidupan nyata”, bukan di atas panggung catwalk. Tentu saja, istilah spill racun (membocorkan rekomendasi) memberi kesan eksklusif, seolah kita diberi tahu sebuah rahasia berharga.
Otentik atau Endorsement?
Di sinilah letak perdebatan utamanya: Seberapa otentik rekomendasi-rekomendasi ini? Garis antara rekomendasi jujur (produk yang benar-benar mereka sukai dan beli sendiri) dan endorsement berbayar (kewajiban kontrak) kini menjadi sangat tipis.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Meskipun banyak negara mewajibkan influencer menggunakan tagar seperti #ad atau #sponsored, efek “teman dekat” yang sudah terbangun seringkali membuat audiens mengabaikan label tersebut. Kita ingin percaya bahwa teman kita tidak akan membohongi kita. Pada akhirnya, “racun” influencer adalah cerminan pergeseran kepercayaan. Kita tidak lagi percaya pada logo perusahaan; kita percaya pada individu.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















