Krisis Makna di Era Kemakmuran: Analisis Kekosongan Eksistensial

Kamis, 23 Oktober 2025 - 08:23 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi, Karier cemerlang dan gaji tinggi, namun mengapa banyak yang merasa hampa? Teori 'Kekosongan Eksistensial' Viktor Frankl menjelaskan fenomena ini. Dok: Istimewa.

Ilustrasi, Karier cemerlang dan gaji tinggi, namun mengapa banyak yang merasa hampa? Teori 'Kekosongan Eksistensial' Viktor Frankl menjelaskan fenomena ini. Dok: Istimewa.

JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Lihatlah profil profesional muda di kota-kota besar: karier menanjak, gaji tinggi, apartemen yang bagus, dan jadwal liburan yang padat. Secara materi, mereka adalah definisi kesuksesan. Namun, di balik fasad tersebut, banyak yang diam-diam berjuang melawan perasaan hampa, depresi, atau existential dread (kecemasan eksistensial).

Mengapa kemakmuran materi tidak selalu sejalan dengan kesehatan mental dan rasa damai? Fenomena ini bukanlah hal baru, dan jawabannya mungkin terletak pada kebutuhan manusia yang paling mendasar: makna.

Teori di Balik Krisis Makna

Psikiater Wina dan penyintas Holocaust, Viktor Frankl, adalah pendiri Logoterapi, sebuah aliran psikoterapi yang berpusat pada “makna”. Dalam bukunya Man’s Search for Meaning, Frankl berpendapat bahwa dorongan utama manusia bukanlah mengejar kesenangan (seperti kata Freud) atau kekuasaan (kata Adler), melainkan “kehendak untuk hidup bermakna” (will to meaning).

Baca Juga :  Pelajaran dari Filsafat Stoa: Menemukan Ketenangan di Tengah Kekacauan

Ketika seseorang gagal menemukan atau memenuhi makna dalam hidupnya, ia akan jatuh ke dalam kondisi yang Frankl sebut sebagai “kekosongan eksistensial” (existential vacuum). Pada dasarnya, ini adalah perasaan hampa, kebosanan kronis, dan keyakinan bahwa hidup tidak memiliki tujuan.

Kemakmuran yang Hampa

Budaya modern, dengan obsesinya pada pencapaian material, status sosial, dan kesenangan instan, seringkali menjadi jebakan. Budaya ini mendorong kita untuk ‘hustle’—bekerja keras demi target finansial atau promosi jabatan—namun kita jarang berhenti untuk bertanya, “Untuk apa ini semua?”

Pekerjaan yang hanya menawarkan gaji tinggi tanpa rasa kontribusi (purpose) atau koneksi kemanusiaan yang tulus jelas memperburuk krisis ini. Akibatnya, kita mencoba mengisi kekosongan eksistensial itu dengan konsumsi berlebih, hiburan instan, atau pencapaian yang lebih tinggi lagi, yang pada akhirnya hanya memberikan kelegaan sementara sebelum kehampaan itu kembali.

Baca Juga :  Police Goes to School di Bekasi, Polres Metro Didatangi 300 Siswa untuk Cegah Kenakalan Remaja

Pergeseran dari Hustle ke Purpose

Justru, kekosongan eksistensial inilah yang tampaknya memicu pergeseran budaya baru, terutama di kalangan generasi muda. Misalnya, kita melihat semakin banyak individu yang secara sadar menolak hustle culture.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Muncul tren ‘slow living’ (hidup perlahan), mindfulness, dan pencarian ‘purpose’ (tujuan) yang kini mendapat prioritas di atas gaji. Selain itu, banyak yang rela pindah kuadran karier, memulai usaha sosial, atau mengabdikan lebih banyak waktu untuk komunitas. Pada hakikatnya, ini bukanlah pelarian dari tanggung jawab, melainkan jawaban atas kebutuhan mendesak untuk mengisi hidup mereka dengan makna yang otentik.

Penulis : Ahmad Haris Kurnia

Editor : Ahmad Haris Kurnia

Follow WhatsApp Channel www.posnews.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

BPJS Kesehatan Hapus Tunggakan Peserta Tak Mampu, Berlaku Bagi Pindah Komponen
Demo Pembakaran Mahkota Cendrawasih Ricuh di Papua, 3 Polisi Terluka Kena Panah
Pengunjung Gagal Selundupkan Sabu Lewat Ayam Kecap di Lapas Narkotika Jakarta
Kekuatan Meme dalam Politik
Rasa Nasionalisme dan Satu Bangsa yang Dibayangkan
Pemprov DKI Hadirkan Program CKG, Warga Kini Bisa Periksa Kesehatan Kapan Saja
Mitos Kerja Keras Pangkal Kaya
Pahlawan atau Musuh? Framing Berita Media

Berita Terkait

Kamis, 23 Oktober 2025 - 11:37 WIB

BPJS Kesehatan Hapus Tunggakan Peserta Tak Mampu, Berlaku Bagi Pindah Komponen

Kamis, 23 Oktober 2025 - 11:15 WIB

Demo Pembakaran Mahkota Cendrawasih Ricuh di Papua, 3 Polisi Terluka Kena Panah

Kamis, 23 Oktober 2025 - 10:52 WIB

Pengunjung Gagal Selundupkan Sabu Lewat Ayam Kecap di Lapas Narkotika Jakarta

Kamis, 23 Oktober 2025 - 09:10 WIB

Kekuatan Meme dalam Politik

Kamis, 23 Oktober 2025 - 09:04 WIB

Rasa Nasionalisme dan Satu Bangsa yang Dibayangkan

Berita Terbaru

Ilustrasi, Dari meme lucu hingga trending topic, teori Foucault mengungkap bagaimana resistensi politik hadir dalam tindakan digital sehari-hari. Dok: Istimewa.

POLITIK

Kekuatan Meme dalam Politik

Kamis, 23 Okt 2025 - 09:10 WIB

Ilustrasi, Dari Sabang sampai Merauke, mengapa kita merasa bersaudara? Teori Benedict Anderson mengungkap bangsa sebagai konstruksi imajiner. Dok: Istimewa.

NETIZEN

Rasa Nasionalisme dan Satu Bangsa yang Dibayangkan

Kamis, 23 Okt 2025 - 09:04 WIB