JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Keringat bercucuran, air mata menggenang, namun sensasi terbakar di lidah itu terus dicari. Fenomena gila-gilaan akan makanan super pedas, mulai dari ayam geprek level 100, seblak ceker dengan cabai berlimpah, hingga tantangan mi Samyang, telah menjadi pemandangan umum.
Ini bukan lagi soal rasa, tapi soal pencarian sensasi. Faktanya, di balik candu akan ‘rasa sakit’ ini, terdapat penjelasan ilmiah dan psikologis yang menarik.
Pedas Bukan Rasa, Tapi Sakit
Secara ilmiah, pedas bukanlah rasa, seperti halnya manis atau asin. Pedas adalah sensasi sakit. Lebih lanjut, senyawa kimia dalam cabai, capsaicin, secara harfiah menipu reseptor rasa sakit di lidah kita (TRV1) untuk berpikir bahwa mulut kita sedang ‘terbakar’.
Tubuh, yang mengira sedang dalam bahaya, merespons sensasi sakit ini dengan melepaskan endorfin, obat pereda nyeri alami sekaligus pemicu rasa bahagia yang setara dengan runner’s high. Akibatnya, kita merasakan euforia ringan setelah ‘siksaan’ itu mereda.
Menikmati Sakit (Masokisme Jinak)
Lalu, mengapa kita secara sadar menikmati rasa sakit? Psikolog Paul Rozin menjelaskan fenomena ini sebagai benign masochism (masokisme jinak).
Ini adalah sensasi ‘naik roller coaster’ yang diterapkan pada makanan. Tubuh kita mengirimkan sinyal alarm (BAHAYA!), tetapi otak kita tahu bahwa kita sebenarnya aman (ini hanya makanan). Oleh karena itu, kita menikmati sensasi ‘bermain di tepi jurang’ tersebut. Bahkan, kita menikmati kegagalan tubuh membaca situasi, yang memberikan kita sensasi penguasaan atas rasa takut.
Ajang Berani dan Ikatan Sosial
Di luar sains dan psikologi, level kepedasan telah menjadi arena pembuktian sosial. Contohnya, menaklukkan ayam geprek level tertinggi adalah sebuah lencana keberanian. Ini adalah ajang pembuktian siapa yang paling kuat di antara teman-teman.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, makan pedas bersama-sama, dengan pengalaman ‘menderita’ yang kolektif, menciptakan social bonding atau ikatan sosial yang unik. Tertawa bersama sambil kepedasan adalah pengalaman komunal yang mempererat hubungan.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















