Politik di Balik Selera Musik Anda

Kamis, 23 Oktober 2025 - 08:35 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi, Merasa selera musik Anda 'lebih tinggi'? Teori 'Distinction' Bourdieu membongkar bagaimana selera hanyalah alat pembeda kelas sosial. Dok: Istimewa.

Ilustrasi, Merasa selera musik Anda 'lebih tinggi'? Teori 'Distinction' Bourdieu membongkar bagaimana selera hanyalah alat pembeda kelas sosial. Dok: Istimewa.

JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Sebagian orang bangga memutar musik indie, jazz, atau klasik sambil memandang rendah dangdut koplo. Mengapa demikian? Mengapa menonton film festival di bioskop alternatif terasa lebih “intelek” daripada menonton film box office yang laris manis?

Bagi kebanyakan dari kita, selera adalah urusan personal dan alami. Kita suka apa yang kita suka. Namun, bagi sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, pilihan selera kita jauh dari kata personal. Itu adalah sebuah pernyataan politik dan sosial yang mendalam.

Teori di Balik Pembedaan

Dalam karyanya yang monumental, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, Bourdieu berargumen bahwa “selera” bukanlah sesuatu yang alami atau murni personal. Sebaliknya, selera adalah produk dari kelas sosial, lingkungan keluarga, dan terutama tingkat pendidikan kita.

Bourdieu menyebut ini sebagai “Modal Kultural” (Cultural Capital). Seseorang yang tumbuh di keluarga yang akrab dengan museum dan diskusi sastra secara alami akan mengembangkan “selera” tertentu. Masyarakat kemudian menganggap selera ini sebagai selera “tinggi”. Modal ini sama berharganya dengan modal ekonomi (uang).

Baca Juga :  Mengapa Gen Z Terobsesi dengan Estetika Jadul?

Selera sebagai Senjata Sosial

Kita secara sadar (atau tidak sadar) menggunakan selera untuk “membedakan” (distinguish) diri kita dari kelas sosial lain. Ini berlaku untuk musik, film, makanan, atau cara berpakaian. Ketika seseorang berkata, “Saya tidak suka dangdut, itu norak,” itu bukan sekadar pernyataan estetika. Itu adalah pernyataan sosial.

Pernyataan itu menyiratkan, “Saya berbeda dari, dan mungkin lebih superior dari, kelas sosial yang mendengarkan dangdut.” “Selera bagus” (good taste) pada akhirnya seringkali hanyalah selera milik kelas dominan. Kelas borjuis atau intelektual memaksakan selera ini sebagai standar emas bagi seluruh masyarakat. Mereka menganggap musik yang “rumit” (seperti jazz) lebih tinggi nilainya daripada musik yang “mudah” (seperti pop atau koplo). Alasannya, untuk menikmati jazz, seseorang membutuhkan modal kultural yang tidak semua orang miliki.

Baca Juga :  Mardiono Resmi Jadi Ketua Umum PPP 2025–2030, Dualisme Partai Resmi Berakhir

Pertarungan Kelas yang Sunyi

Implikasinya sangat dalam. Preferensi estetika kita sebenarnya adalah arena pertarungan kelas yang tersembunyi. Ini mencakup apa yang kita anggap “indah”, “keren”, atau “jelek”.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Setiap kali kita menghakimi selera orang lain, kita sedang berpartisipasi dalam reproduksi hierarki sosial. Kita memperkuat batas-batas tak terlihat antara “kita” (yang berbudaya) dan “mereka” (yang kita anggap kurang). Pada akhirnya, selera menjadi cara paling halus dan efektif untuk mempertahankan dominasi sosial tanpa perlu kekerasan fisik.

Penulis : Ahmad Haris Kurnia

Editor : Ahmad Haris Kurnia

Follow WhatsApp Channel www.posnews.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

BPJS Kesehatan Hapus Tunggakan Peserta Tak Mampu, Berlaku Bagi Pindah Komponen
Demo Pembakaran Mahkota Cendrawasih Ricuh di Papua, 3 Polisi Terluka Kena Panah
Pengunjung Gagal Selundupkan Sabu Lewat Ayam Kecap di Lapas Narkotika Jakarta
Kekuatan Meme dalam Politik
Rasa Nasionalisme dan Satu Bangsa yang Dibayangkan
Pemprov DKI Hadirkan Program CKG, Warga Kini Bisa Periksa Kesehatan Kapan Saja
Mitos Kerja Keras Pangkal Kaya
Pahlawan atau Musuh? Framing Berita Media

Berita Terkait

Kamis, 23 Oktober 2025 - 11:37 WIB

BPJS Kesehatan Hapus Tunggakan Peserta Tak Mampu, Berlaku Bagi Pindah Komponen

Kamis, 23 Oktober 2025 - 11:15 WIB

Demo Pembakaran Mahkota Cendrawasih Ricuh di Papua, 3 Polisi Terluka Kena Panah

Kamis, 23 Oktober 2025 - 10:52 WIB

Pengunjung Gagal Selundupkan Sabu Lewat Ayam Kecap di Lapas Narkotika Jakarta

Kamis, 23 Oktober 2025 - 09:10 WIB

Kekuatan Meme dalam Politik

Kamis, 23 Oktober 2025 - 09:04 WIB

Rasa Nasionalisme dan Satu Bangsa yang Dibayangkan

Berita Terbaru

Ilustrasi, Dari meme lucu hingga trending topic, teori Foucault mengungkap bagaimana resistensi politik hadir dalam tindakan digital sehari-hari. Dok: Istimewa.

POLITIK

Kekuatan Meme dalam Politik

Kamis, 23 Okt 2025 - 09:10 WIB

Ilustrasi, Dari Sabang sampai Merauke, mengapa kita merasa bersaudara? Teori Benedict Anderson mengungkap bangsa sebagai konstruksi imajiner. Dok: Istimewa.

NETIZEN

Rasa Nasionalisme dan Satu Bangsa yang Dibayangkan

Kamis, 23 Okt 2025 - 09:04 WIB