JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Sebagian orang bangga memutar musik indie, jazz, atau klasik sambil memandang rendah dangdut koplo. Mengapa demikian? Mengapa menonton film festival di bioskop alternatif terasa lebih “intelek” daripada menonton film box office yang laris manis?
Bagi kebanyakan dari kita, selera adalah urusan personal dan alami. Kita suka apa yang kita suka. Namun, bagi sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, pilihan selera kita jauh dari kata personal. Itu adalah sebuah pernyataan politik dan sosial yang mendalam.
Teori di Balik Pembedaan
Dalam karyanya yang monumental, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, Bourdieu berargumen bahwa “selera” bukanlah sesuatu yang alami atau murni personal. Sebaliknya, selera adalah produk dari kelas sosial, lingkungan keluarga, dan terutama tingkat pendidikan kita.
Bourdieu menyebut ini sebagai “Modal Kultural” (Cultural Capital). Seseorang yang tumbuh di keluarga yang akrab dengan museum dan diskusi sastra secara alami akan mengembangkan “selera” tertentu. Masyarakat kemudian menganggap selera ini sebagai selera “tinggi”. Modal ini sama berharganya dengan modal ekonomi (uang).
Selera sebagai Senjata Sosial
Kita secara sadar (atau tidak sadar) menggunakan selera untuk “membedakan” (distinguish) diri kita dari kelas sosial lain. Ini berlaku untuk musik, film, makanan, atau cara berpakaian. Ketika seseorang berkata, “Saya tidak suka dangdut, itu norak,” itu bukan sekadar pernyataan estetika. Itu adalah pernyataan sosial.
Pernyataan itu menyiratkan, “Saya berbeda dari, dan mungkin lebih superior dari, kelas sosial yang mendengarkan dangdut.” “Selera bagus” (good taste) pada akhirnya seringkali hanyalah selera milik kelas dominan. Kelas borjuis atau intelektual memaksakan selera ini sebagai standar emas bagi seluruh masyarakat. Mereka menganggap musik yang “rumit” (seperti jazz) lebih tinggi nilainya daripada musik yang “mudah” (seperti pop atau koplo). Alasannya, untuk menikmati jazz, seseorang membutuhkan modal kultural yang tidak semua orang miliki.
Pertarungan Kelas yang Sunyi
Implikasinya sangat dalam. Preferensi estetika kita sebenarnya adalah arena pertarungan kelas yang tersembunyi. Ini mencakup apa yang kita anggap “indah”, “keren”, atau “jelek”.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Setiap kali kita menghakimi selera orang lain, kita sedang berpartisipasi dalam reproduksi hierarki sosial. Kita memperkuat batas-batas tak terlihat antara “kita” (yang berbudaya) dan “mereka” (yang kita anggap kurang). Pada akhirnya, selera menjadi cara paling halus dan efektif untuk mempertahankan dominasi sosial tanpa perlu kekerasan fisik.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia