JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Apa yang Anda rasakan saat menemukan kembali cokelat payung, mi lidi Anak Mame, atau membuka Choki-Choki setelah bertahun-tahun? Bagi banyak orang, sensasi itu jauh melampaui sekadar rasa manis atau gurih. Ini adalah tiket instan kembali ke masa kecil, sebuah mesin waktu yang terbungkus plastik sederhana.
Orang-orang mengenal fenomena ini sebagai food nostalgia atau nostalgia kuliner. Ini adalah alasan mengapa kita rela membayar mahal untuk pengalaman emosional yang jajanan sederhana itu bangkitkan.
Kekuatan Bau dan Memori
Secara psikologis, food nostalgia adalah fenomena yang sangat kuat. Alasannya, indra penciuman (bau) dan indra perasa terhubung langsung ke hipokampus dan amigdala, pusat memori dan emosi di otak kita.
Tidak seperti indra penglihatan atau pendengaran, bau dan rasa mengambil jalur super cepat ke bagian otak yang menyimpan ingatan emosional jangka panjang. Oleh karena itu, satu gigitan kecil dapat memicu gelombang kenangan spesifik yang jelas: istirahat sekolah, uang jajan, atau momen bermain tanpa beban.
Jajanan Jadul Naik Kelas
Pasar memanfaatkan kekuatan nostalgia inilah. Kita melihat tren di mana jajanan ‘jadul’ ini kembali laku keras. Bahkan, mereka tidak hanya muncul di warung, tetapi para penjual juga mengemasnya kembali secara premium atau menginterpretasikannya ulang di kafe-kafe modern.
Kafe menjual donat dengan topping meses klasik atau minuman rasa permen karet. Ini menunjukkan bahwa, seiring bertambahnya usia dan kompleksitas hidup, kita merindukan kesederhanaan dan keamanan emosional dari masa lalu.
Membeli Kenangan
Pada akhirnya, food nostalgia membuktikan bahwa kita tidak hanya mengonsumsi makanan. Saat kita membeli jajanan SD tersebut, kita sebenarnya tidak sedang membeli rasa cokelat atau mi renyah. Kita sedang berusaha membeli kembali sepotong kenangan; sebuah perasaan aman, bahagia, dan sederhana yang pernah kita miliki.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















