JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Coba pikirkan paradoks ini: Amerika Serikat sama sekali tidak khawatir dengan ratusan hulu ledak nuklir yang Inggris miliki. Namun, AS sangat panik dengan segelintir hulu ledak nuklir yang (diduga) Korea Utara miliki. Mengapa demikian? Padahal, secara material, ancaman fisik nuklir itu sama-sama destruktif.
Teori Realisme (yang fokus pada kekuatan) dan Liberalisme (yang fokus pada institusi) sulit menjelaskan teka-teki ini. Di sinilah Teori Konstruktivisme Sosial masuk. Konstruktivisme menawarkan jawaban yang radikal: realitas internasional tidak bersifat tetap, melainkan masyarakat membangunnya (construct) secara sosial.
Konsep Inti Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme berpendapat bahwa dunia material (seperti tank, nuklir, atau uang) tidak memiliki makna bawaan. Makna itu kita berikan berdasarkan interaksi sosial, ide, dan identitas kita.
- Realitas Dibangun Secara Sosial: Bagi Konstruktivis, nuklir Inggris tidak menakutkan bagi AS karena AS dan Inggris berbagi identitas sebagai “sahabat” atau “aliansi demokratis”. Sebaliknya, nuklir Korea Utara menakutkan karena AS dan Korut memiliki sejarah interaksi yang membangun identitas sebagai “musuh”. Kekuatan material (nuklir) itu sama, tetapi makna sosialnya berbeda total.
- Identitas, Norma, dan Persepsi Itu Penting: Teori ini menempatkan ide non-material sebagai pusat analisis. Identitas (siapa “kita” dan siapa “mereka”) menentukan kepentingan negara. Norma internasional (seperti anti-perbudakan atau larangan penggunaan senjata kimia) dapat mengubah perilaku negara, bukan karena paksaan militer, tetapi karena negara ingin menunjukkan citra sebagai “anggota masyarakat internasional yang baik”.
- “Anarki adalah Apa yang Negara Pikirkan”: Ini adalah ungkapan terkenal dari Alexander Wendt, tokoh utama Konstruktivisme. Dia menantang Realisme. Jika negara-negara saling memperlakukan satu sama lain sebagai musuh (seperti yang Realis asumsikan), maka dunia memang akan menjadi arena self-help yang brutal. Tetapi, jika negara-negara mulai berinteraksi sebagai mitra atau sahabat, maka anarki tersebut bisa berubah menjadi budaya kerja sama.
Transformasi Hubungan
Contoh paling jelas dari teori ini adalah transformasi hubungan AS dan Vietnam. Selama Perang Dingin, konflik ideologis dan militer mengunci mereka sebagai musuh bebuyutan.
Namun, beberapa dekade kemudian, identitas mereka berubah. AS tidak lagi melihat Vietnam sebagai “proksi Komunis”, melainkan sebagai “mitra strategis baru” di Asia Tenggara untuk mengimbangi Tiongkok. Perubahan persepsi dan identitas inilah yang memungkinkan kedua mantan musuh bebuyutan ini melakukan latihan militer bersama dan kerja sama ekonomi yang erat. Kekuatan material mereka tidak banyak berubah, tetapi ide di kepala para pemimpin mereka berubah.
Kesimpulan
Konstruktivisme mengingatkan kita bahwa dunia politik tidak statis. Hubungan “musuh” dan “kawan” bukanlah takdir permanen. Semua itu adalah hasil konstruksi sosial yang bisa berubah. Jika kita ingin mengubah dunia, kita tidak hanya harus mengubah siapa yang memiliki senjata, tetapi kita juga harus mengubah cara kita berpikir, berbicara, dan mendefinisikan siapa “kita” dan siapa “mereka”.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















