POSNEWS.CO.ID – Berpikir kritis itu syarat untuk menjadi wartawan yang baik. Tanpa berpikir kritis, wartawan sulit mewartakan kebenaran yang tersembunyi.
Untuk berani berpikir kritis, wartawan harus merasa bebas terlebih dulu. Maka di sini sebelum membahas berpikir kritis, kita perlu membahas kebebasan.
Kebebasan, berpikir kritis, dan sikap skeptis membentuk satu rangkaian utuh dalam upaya mencari kebenaran. Sebagai hak asasi manusia yang paling hakiki, kebebasan juga mencakup kemerdekaan pers dan ruang bagi wartawan untuk berpikir kritis.
Sejauh masih bisa berpikir, pergunakanlah akal sehat bebas berpikir dengan jangkauan luas dan mendalam. Hidup macam apa, kalau berpikir saja takut.
Landasan Hukum Kebebasan Pers di Indonesia
Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan kebebasan sebagai hak setiap warga negara. Pasal itu menyatakan bahwa rakyat berhak berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan yang dijamin undang-undang.
Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers kemudian mengukuhkan kemerdekaan pers. Konsiderans UU tersebut menegaskan bahwa pers bebas sangat dibutuhkan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, meningkatkan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bab II Pasal 2 UU Pers menegaskan bahwa kemerdekaan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat yang berdiri di atas prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pasal 4 ayat 1 memperkuat jaminan itu dengan menyebut, “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.” Ayat 2 menegaskan larangan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran terhadap pers nasional.
Ayat 3 menambah kepastian hukum dengan memberi hak kepada pers nasional untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.
Dengan begitu, undang-undang secara jelas menguatkan kemerdekaan pers sebagai fondasi demokrasi di Indonesia. Sebelumnya, kebebasan pers tidak mendapatkan perlindungan hukum.
Mendiang Atmakusumah, pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo dalam tulisannya (tahun 2014) menjelaskan, keadaan kebebasan pers di Indonesia pada abad 17 belum ada.
Ketika surat kabar pertama bernama Bataviaasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia) terbit di Batavia pada 7 Agustus 1744 tanpa jaminan perlindungan hukum bagi kebebasan pers.
Kebebasan berbicara dan berpendapat baik lisan maupun tulisan sudah tercantum dalam UUD 1945. Kemudian disusul Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers yang berlaku hingga sekarang.
Sementara Amerika Serikat (AS) pada 15 Desember 1791 sudah mulai menabuh gendrang kebebasan pers melalui pengesahan amandemen pertama konstitusinya.
Kebebasan yang mendasar dalam amandemen pertama konstitusi AS itu berbunyi:
Kongres tidak boleh membatasi kebebasan berpendapat, atau kebebasan pers; atau hak masyarakat untuk berkumpul secara damai, dan mengajukan petisi kepada Pemerintah untuk mengatasi keluhannya.
Kalangan editor dan penerbit di Amerika Serikat menyambut gembira konstitusi yang memperkuat kebebasan pers itu.
Gaungnya terdengar hingga seluruh dunia, termasuk di bumi Nusantara. Meskipun demikian, perkembangan kebebasan pers secara global hingga sekarang masih menghadapi tantangan dan hambatan.
Ini menjadi tantangan kalangan pers untuk terus memperjuangkan kemerdekaan pers.
Insan pers di Indonesia dapat merasakan kebebasan pers saat berkarya di berbagai platform media, mulai dari cetak, online, radio, hingga televisi.
Undang-Undang Dasar 1945 bersama Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 memperkuat dan menjamin kebebasan tersebut, tanpa peduli rezim presiden yang memimpin.
Kenapa kini masih ada wartawan takut? Takut berpikir bebas, takut berpikir kritis?
Perlu berpikir ulang menekuni profesi wartawan, kalau pikirannya masih terbelenggu oleh berbagai hal yang membuat tidak mampu berpikir kritis.
Berpikir Kritis dan Skeptis
Sikap meragukan terhadap segala hal menjadi dasar berpikir kritis. Wartawan menyikapi teks, baik lisan, tertulis, maupun simbol informasi, dengan skeptis. Sikap skeptis menjadi pangkal untuk mencari kebenaran.
Kita ingat apa yang dikatakan oleh Rene Descartes (1596- 1650), filsuf Perancis yang menjadi bapak filsafat modern.
Ia mengatakan pernyataan filosofis yang sangat terkenal hingga saat ini, “cogito, ergo sum”, aku berpikir maka aku ada, atau dalam Bahasa Inggrisnya “I think, therefore I am.”
Pernyataan filosofis itu dapat ditemukan dalam bukunya Discourse on the Method (1637), dan Principles of Philosophy (1644).
Cogito, ergo sum, mengajarkan untuk selalu meragukan semua hal di segala bidang, dan selanjutnya berpikir secara kritis dan logis untuk mencari kebenaran melalui berbagai sisi.
Selama informasi masih diragukan, wartawan tidak boleh menjadikannya sebagai bahan berita. Kalau masih ragu, tinggalkan (doubt, leave it).
Wartawan harus mencari kebenaran informasi dengan berpikir kritis, melihat langsung fakta, dan menggali data dari berbagai sisi. Mulai dari melihat lokasi kejadian/pengamatan lapangan sampai wawancara dengan berbagai pihak yang berkompenten.
Untuk mendapatkan informasi yang benar, wartawan harus detail dan berpikir kritis dalam melakukan wawancara.
Wartawan selalu mengejar penjelasan sumber yang belum jelas dan masuk akal. Pertanyaan “mengapa (why)” harus sering diajukan sebagai pertanyaan, selain “apa, kapan, di mana, siapa, bagaimana”. (*)

⁃ Anggota Forum Wartawan Kebangsaan
⁃ Mantan Wartawan Harian Kompas