Matikan Kolom Komentar: Runtuhnya Ruang Publik di Era Digital

Rabu, 22 Oktober 2025 - 18:43 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi, Dari kedai kopi ke kolom komentar, janji media sosial sebagai ruang publik ideal justru runtuh menjadi arena pertarungan yang merusak demokrasi. Dok: Istimewa.

Ilustrasi, Dari kedai kopi ke kolom komentar, janji media sosial sebagai ruang publik ideal justru runtuh menjadi arena pertarungan yang merusak demokrasi. Dok: Istimewa.

JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Banyak media berita atau figur publik kini memilih untuk mematikan kolom komentar pada unggahan mereka. Keputusan ini terasa ironis, mengingat banyak pihak pernah mengelu-elukan media sosial sebagai ruang diskusi paling demokratis dalam sejarah. Namun, kita semua tahu alasannya. Kolom komentar yang seharusnya menjadi tempat bertukar pikiran secara sehat sering kali berubah menjadi medan pertempuran yang toksik, penuh dengan caci maki, misinformasi, dan serangan personal.

Alih-alih menjadi agora digital tempat warga berdebat, kolom komentar justru mencerminkan runtuhnya diskursus sipil. Fenomena ini bukan sekadar masalah etiket digital yang buruk. Gejala ini menunjukkan masalah yang jauh lebih dalam: fondasi ruang publik itu sendiri sedang terkikis, sebuah konsep yang sangat vital bagi kesehatan demokrasi.

Ruang Publik: Arena Ideal untuk Demokrasi

Filsuf dan sosiolog Jerman, Jürgen Habermas, memperkenalkan konsep Ruang Publik (Public Sphere). Menurutnya, ruang publik adalah sebuah arena metaforis dalam kehidupan sosial tempat individu-individu dapat berkumpul secara bebas untuk mendiskusikan masalah bersama dan membentuk opini publik. Pada abad ke-18 di Eropa, ruang ini mewujud dalam bentuk kedai kopi, salon, dan surat kabar, tempat kaum borjuis berdebat tentang politik dan sastra secara rasional.

Baca Juga :  Harta Karun Laut Dalam: Obat Super Baru atau Bencana Ekologis?

Habermas menekankan bahwa ruang publik yang sehat memiliki beberapa syarat: akses yang setara bagi semua warga, kebebasan dari paksaan negara atau korporasi, dan komitmen pada argumen rasional. Melalui debat inilah masyarakat dapat mengawasi kekuasaan dan memengaruhi kebijakan publik.

Analisis: Algoritma sebagai Penghancur Ruang Publik

Pada awalnya, internet dan media sosial tampak seperti perwujudan sempurna dari ruang publik Habermasian. Setiap orang memiliki akses dan suara yang setara. Namun, harapan idealis itu dengan cepat pupus. Alih-alih memfasilitasi debat rasional, arsitektur media sosial justru secara aktif merusaknya, terutama melalui dua mekanisme yang algoritma dorong:

  1. Gelembung Filter (Filter Bubble): Algoritma secara personal menyajikan konten yang sesuai dengan keyakinan dan minat kita sebelumnya. Akibatnya, kita semakin jarang terpapar pada sudut pandang yang berbeda.
  2. Ruang Gema (Echo Chamber): Di dalam gelembung ini, kita cenderung berinteraksi hanya dengan orang-orang yang berpikiran sama. Komunitas ini terus-menerus memperkuat dan mengamplifikasi keyakinan anggotanya, sementara mereka menganggap pandangan oposisi aneh atau jahat.
Baca Juga :  Kapolri Ajak Buruh dan Polri Bersatu Jaga Keamanan Nasional Demi Kesejahteraan Rakyat

Kedua mekanisme ini menghancurkan syarat utama ruang publik, yaitu pertemuan dengan perbedaan pendapat dalam kerangka argumen yang sama. Tanpa dasar pijakan realitas yang sama, diskusi rasional menjadi mustahil. Yang tersisa hanyalah polarisasi ekstrem, tempat setiap kelompok hidup di alam semesta informasinya sendiri dan memandang kelompok lain dengan penuh kecurigaan.

Implikasi: Demokrasi di Ujung Tanduk

Ketika ruang publik runtuh, konsekuensinya bagi demokrasi sangatlah serius. Tanpa diskursus sipil yang sehat, masyarakat kehilangan kemampuannya untuk mencapai konsensus atau bahkan kompromi dalam isu-isu penting. Politik tidak lagi menjadi ajang adu gagasan, melainkan pertarungan identitas “kami versus mereka”.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Keputusan untuk mematikan kolom komentar adalah simbol dari kegagalan ini. Ini adalah pengakuan bahwa kita telah kehilangan ruang untuk berdebat secara produktif. Tantangan terbesar bagi demokrasi di era digital bukanlah kurangnya informasi, melainkan hilangnya arena bersama untuk memahami informasi tersebut secara kritis dan kolektif.

Penulis : Ahmad Haris Kurnia

Editor : Ahmad Haris Kurnia

Follow WhatsApp Channel www.posnews.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Pemprov DKI Tegas Dukung Larangan Thrifting, Jakarta Siap Tertibkan Pedagang Nakal
10 Pedagang Beras di Jakarta Kena Tegur, Jual di Atas Harga Eceran Tertinggi
Roy Suryo Bongkar Keanehan Ijazah Jokowi Saat Daftar Pilpres, Sebut 99,9 Persen Palsu
Banjir Hebat Landa Lembang, Jalan Pasar Panorama Lumpuh Total
Ratusan Siswa Sleman Keracunan Usai Makan Bergizi Gratis, 1 Dirujuk ke RS UGM
Air Hujan Jakarta Tercemar Mikroplastik, BRIN Ungkap Fakta Mengejutkan
KKB Sadis! 34 Orang Dibantai di Yahukimo, Polda Papua Ungkap Fakta Mengerikan
Dishub DKI Bahas Kenaikan Tarif Transjakarta, Cost Recovery Turun Drastis

Berita Terkait

Jumat, 24 Oktober 2025 - 16:44 WIB

Pemprov DKI Tegas Dukung Larangan Thrifting, Jakarta Siap Tertibkan Pedagang Nakal

Jumat, 24 Oktober 2025 - 16:14 WIB

10 Pedagang Beras di Jakarta Kena Tegur, Jual di Atas Harga Eceran Tertinggi

Jumat, 24 Oktober 2025 - 15:48 WIB

Roy Suryo Bongkar Keanehan Ijazah Jokowi Saat Daftar Pilpres, Sebut 99,9 Persen Palsu

Jumat, 24 Oktober 2025 - 15:35 WIB

Banjir Hebat Landa Lembang, Jalan Pasar Panorama Lumpuh Total

Jumat, 24 Oktober 2025 - 15:25 WIB

Ratusan Siswa Sleman Keracunan Usai Makan Bergizi Gratis, 1 Dirujuk ke RS UGM

Berita Terbaru