JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Orang sering melontarkan istilah generasi micin sebagai lelucon untuk menyindir seseorang yang mereka anggap lemot atau bodoh. Selama puluhan tahun, banyak orang mengambinghitamkan Monosodium Glutamat (MSG) di dunia kuliner, menuduhnya menyebabkan pusing, mual, dan berbagai keluhan lainnya. Namun, dari mana stigma ini berasal? Dan apakah sains modern mendukung reputasi buruk tersebut?
Stigma dari Sepucuk Surat
Reputasi buruk MSG dimulai pada tahun 1968. Saat itu, seorang dokter menulis surat kontroversial ke New England Journal of Medicine. Ia mengeluhkan gejala pusing dan mual setelah makan di restoran Tiongkok, dan berspekulasi bahwa MSG adalah penyebabnya.
Istilah Chinese Restaurant Syndrome pun lahir dan menyebar dengan cepat, meskipun tidak memiliki dasar penelitian ilmiah yang kuat. Mitos ini, sayangnya, bertahan selama beberapa dekade dan menanamkan stigma mendalam di masyarakat.
Apa Sebenarnya MSG?
Bertentangan dengan mitos tersebut, fakta ilmiahnya jauh lebih sederhana. MSG hanyalah garam sodium dari asam glutamat. Asam glutamat adalah salah satu asam amino non-esensial yang paling melimpah di alam.
Faktanya, tubuh kita memproduksi asam glutamat sendiri. Selain itu, kita menemukannya secara alami dalam bahan makanan yang kita konsumsi setiap hari. Tomat, jamur, kecap, dan keju parmesan adalah sumber alami asam glutamat yang tinggi.
Damai dengan Rasa Kelima
Asam glutamat adalah pembawa rasa umami, yaitu rasa kelima yang para ilmuwan akui selain manis, asin, asam, dan pahit. Umami memberikan sensasi gurih dan ‘lezat’ yang membuat makanan terasa lebih kaya.
Oleh karena itu, berbagai penelitian double-blind terkontrol plasebo secara konsisten gagal menemukan kaitan langsung antara konsumsi MSG pada level normal dengan Chinese Restaurant Syndrome. Pada akhirnya, saatnya kita berdamai dengan si penyedap rasa ini dan mengubur mitos yang tidak memiliki dasar ilmiah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















