JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Lihatlah profil profesional muda di kota-kota besar: karier menanjak, gaji tinggi, apartemen yang bagus, dan jadwal liburan yang padat. Secara materi, mereka adalah definisi kesuksesan. Namun, di balik fasad tersebut, banyak yang diam-diam berjuang melawan perasaan hampa, depresi, atau existential dread (kecemasan eksistensial).
Mengapa kemakmuran materi tidak selalu sejalan dengan kesehatan mental dan rasa damai? Fenomena ini bukanlah hal baru, dan jawabannya mungkin terletak pada kebutuhan manusia yang paling mendasar: makna.
Teori di Balik Krisis Makna
Psikiater Wina dan penyintas Holocaust, Viktor Frankl, adalah pendiri Logoterapi, sebuah aliran psikoterapi yang berpusat pada “makna”. Dalam bukunya Man’s Search for Meaning, Frankl berpendapat bahwa dorongan utama manusia bukanlah mengejar kesenangan (seperti kata Freud) atau kekuasaan (kata Adler), melainkan “kehendak untuk hidup bermakna” (will to meaning).
Ketika seseorang gagal menemukan atau memenuhi makna dalam hidupnya, ia akan jatuh ke dalam kondisi yang Frankl sebut sebagai “kekosongan eksistensial” (existential vacuum). Pada dasarnya, ini adalah perasaan hampa, kebosanan kronis, dan keyakinan bahwa hidup tidak memiliki tujuan.
Kemakmuran yang Hampa
Budaya modern, dengan obsesinya pada pencapaian material, status sosial, dan kesenangan instan, seringkali menjadi jebakan. Budaya ini mendorong kita untuk ‘hustle’—bekerja keras demi target finansial atau promosi jabatan—namun kita jarang berhenti untuk bertanya, “Untuk apa ini semua?”
Pekerjaan yang hanya menawarkan gaji tinggi tanpa rasa kontribusi (purpose) atau koneksi kemanusiaan yang tulus jelas memperburuk krisis ini. Akibatnya, kita mencoba mengisi kekosongan eksistensial itu dengan konsumsi berlebih, hiburan instan, atau pencapaian yang lebih tinggi lagi, yang pada akhirnya hanya memberikan kelegaan sementara sebelum kehampaan itu kembali.
Pergeseran dari Hustle ke Purpose
Justru, kekosongan eksistensial inilah yang tampaknya memicu pergeseran budaya baru, terutama di kalangan generasi muda. Misalnya, kita melihat semakin banyak individu yang secara sadar menolak hustle culture.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Muncul tren ‘slow living’ (hidup perlahan), mindfulness, dan pencarian ‘purpose’ (tujuan) yang kini mendapat prioritas di atas gaji. Selain itu, banyak yang rela pindah kuadran karier, memulai usaha sosial, atau mengabdikan lebih banyak waktu untuk komunitas. Pada hakikatnya, ini bukanlah pelarian dari tanggung jawab, melainkan jawaban atas kebutuhan mendesak untuk mengisi hidup mereka dengan makna yang otentik.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia