Pahlawan atau Musuh? Framing Berita Media

Kamis, 23 Oktober 2025 - 08:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi, Aksi damai atau anarki? Teori Framing Robert Entman membongkar bagaimana media memilih realitas untuk Anda. Dok: Istimewa.

Ilustrasi, Aksi damai atau anarki? Teori Framing Robert Entman membongkar bagaimana media memilih realitas untuk Anda. Dok: Istimewa.

JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Sebuah demonstrasi besar terjadi di ibu kota. Keesokan harinya, dua surat kabar terkemuka merilis berita utama yang sangat bertolak belakang. Media A menggunakan judul “Ribuan Aktivis Serukan Keadilan dalam Aksi Damai”. Sementara itu, Media B menurunkan tajuk “Anarki di Jantung Kota: Oknum Perusuh Blokade Jalan”.

Peristiwanya satu, namun mengapa narasinya bisa begitu berbeda? Ini bukan sekadar perbedaan sudut pandang. Orang-orang dalam dunia jurnalisme mengenalnya sebagai praktik inti framing atau pembingkaian.

Teori di Balik Bingkai

Pakar komunikasi politik, Robert Entman, mendefinisikan framing (pembingkaian) sebagai proses esensial dalam komunikasi. Teori ini menjelaskan bagaimana media “menyeleksi” beberapa aspek dari realitas yang dirasakannya. Media kemudian membuat aspek itu lebih “menonjol” (salient) dalam sebuah teks komunikasi.

Tujuannya adalah untuk mempromosikan interpretasi, definisi masalah, evaluasi moral, atau rekomendasi solusi tertentu atas isu yang mereka bahas. Media tidak selalu berbohong, tetapi mereka secara strategis memilih apa yang akan mereka sorot dan apa yang akan mereka abaikan.

Baca Juga :  DPR dan Pemerintah Sepakat Bentuk Kementerian Haji dan Umrah

Membedah Senjata Media

Media membangun bingkai ini melalui beberapa “senjata” yang seringkali tidak kita sadari saat mengonsumsi berita.

Pertama adalah pemilihan kata (diksi). Apakah media menyebut pelaku aksi sebagai “aktivis”, “demonstran”, “warga”, atau “oknum”, “perusuh”, “massa anarkis”? Setiap kata membawa bobot moral dan evaluasi yang sangat berbeda.

Kedua adalah pemilihan narasumber. Siapa yang media beri panggung untuk berbicara? Apakah media hanya mengutip aparat keamanan dan pengamat yang kontra-demo? Ataukah media memberi ruang bagi korban atau penyelenggara aksi? Narasumber yang media pilih akan “mewakili” suara realitas yang ingin mereka tonjolkan.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ketiga adalah foto atau gambar yang media gunakan. Apakah foto yang media pilih adalah gambar lautan manusia yang tertib dan damai, atau foto satu oknum yang sedang melempar botol ke arah polisi? Keduanya mungkin terjadi di lokasi, tetapi pilihan foto akan membingkai persepsi kita terhadap keseluruhan peristiwa.

Baca Juga :  Kebakaran Rumah di Senen Jakarta Pusat, Dua Petugas Damkar Luka

Melek Media Kritis

Teori framing ini menegaskan sebuah ungkapan klasik dalam studi media: Media tidak selalu berhasil memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan (what to think). Namun, mereka sangat berhasil memberi tahu kita bagaimana cara memikirkannya (how to think about it). Mereka mengatur panggung dan menyorot aktor utama yang harus kita perhatikan.

Di era banjir informasi seperti sekarang, memahami framing menjadi sangat penting. Inilah inti dari literasi media kritis: kemampuan untuk mundur selangkah, melihat bingkai yang media sajikan, dan bertanya, “Aspek apa dari realitas ini yang sengaja media hilangkan atau tidak media tonjolkan?”

Penulis : Ahmad Haris Kurnia

Editor : Ahmad Haris Kurnia

Follow WhatsApp Channel www.posnews.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

BPJS Kesehatan Hapus Tunggakan Peserta Tak Mampu, Berlaku Bagi Pindah Komponen
Demo Pembakaran Mahkota Cendrawasih Ricuh di Papua, 3 Polisi Terluka Kena Panah
Pengunjung Gagal Selundupkan Sabu Lewat Ayam Kecap di Lapas Narkotika Jakarta
Kekuatan Meme dalam Politik
Rasa Nasionalisme dan Satu Bangsa yang Dibayangkan
Pemprov DKI Hadirkan Program CKG, Warga Kini Bisa Periksa Kesehatan Kapan Saja
Mitos Kerja Keras Pangkal Kaya
Politik di Balik Selera Musik Anda

Berita Terkait

Kamis, 23 Oktober 2025 - 11:37 WIB

BPJS Kesehatan Hapus Tunggakan Peserta Tak Mampu, Berlaku Bagi Pindah Komponen

Kamis, 23 Oktober 2025 - 11:15 WIB

Demo Pembakaran Mahkota Cendrawasih Ricuh di Papua, 3 Polisi Terluka Kena Panah

Kamis, 23 Oktober 2025 - 10:52 WIB

Pengunjung Gagal Selundupkan Sabu Lewat Ayam Kecap di Lapas Narkotika Jakarta

Kamis, 23 Oktober 2025 - 09:10 WIB

Kekuatan Meme dalam Politik

Kamis, 23 Oktober 2025 - 09:04 WIB

Rasa Nasionalisme dan Satu Bangsa yang Dibayangkan

Berita Terbaru

Ilustrasi, Dari meme lucu hingga trending topic, teori Foucault mengungkap bagaimana resistensi politik hadir dalam tindakan digital sehari-hari. Dok: Istimewa.

POLITIK

Kekuatan Meme dalam Politik

Kamis, 23 Okt 2025 - 09:10 WIB

Ilustrasi, Dari Sabang sampai Merauke, mengapa kita merasa bersaudara? Teori Benedict Anderson mengungkap bangsa sebagai konstruksi imajiner. Dok: Istimewa.

NETIZEN

Rasa Nasionalisme dan Satu Bangsa yang Dibayangkan

Kamis, 23 Okt 2025 - 09:04 WIB