JAKARTA, POSNEWS.CO.ID — Sebuah demonstrasi besar terjadi di ibu kota. Keesokan harinya, dua surat kabar terkemuka merilis berita utama yang sangat bertolak belakang. Media A menggunakan judul “Ribuan Aktivis Serukan Keadilan dalam Aksi Damai”. Sementara itu, Media B menurunkan tajuk “Anarki di Jantung Kota: Oknum Perusuh Blokade Jalan”.
Peristiwanya satu, namun mengapa narasinya bisa begitu berbeda? Ini bukan sekadar perbedaan sudut pandang. Orang-orang dalam dunia jurnalisme mengenalnya sebagai praktik inti framing atau pembingkaian.
Teori di Balik Bingkai
Pakar komunikasi politik, Robert Entman, mendefinisikan framing (pembingkaian) sebagai proses esensial dalam komunikasi. Teori ini menjelaskan bagaimana media “menyeleksi” beberapa aspek dari realitas yang dirasakannya. Media kemudian membuat aspek itu lebih “menonjol” (salient) dalam sebuah teks komunikasi.
Tujuannya adalah untuk mempromosikan interpretasi, definisi masalah, evaluasi moral, atau rekomendasi solusi tertentu atas isu yang mereka bahas. Media tidak selalu berbohong, tetapi mereka secara strategis memilih apa yang akan mereka sorot dan apa yang akan mereka abaikan.
Membedah Senjata Media
Media membangun bingkai ini melalui beberapa “senjata” yang seringkali tidak kita sadari saat mengonsumsi berita.
Pertama adalah pemilihan kata (diksi). Apakah media menyebut pelaku aksi sebagai “aktivis”, “demonstran”, “warga”, atau “oknum”, “perusuh”, “massa anarkis”? Setiap kata membawa bobot moral dan evaluasi yang sangat berbeda.
Kedua adalah pemilihan narasumber. Siapa yang media beri panggung untuk berbicara? Apakah media hanya mengutip aparat keamanan dan pengamat yang kontra-demo? Ataukah media memberi ruang bagi korban atau penyelenggara aksi? Narasumber yang media pilih akan “mewakili” suara realitas yang ingin mereka tonjolkan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketiga adalah foto atau gambar yang media gunakan. Apakah foto yang media pilih adalah gambar lautan manusia yang tertib dan damai, atau foto satu oknum yang sedang melempar botol ke arah polisi? Keduanya mungkin terjadi di lokasi, tetapi pilihan foto akan membingkai persepsi kita terhadap keseluruhan peristiwa.
Melek Media Kritis
Teori framing ini menegaskan sebuah ungkapan klasik dalam studi media: Media tidak selalu berhasil memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan (what to think). Namun, mereka sangat berhasil memberi tahu kita bagaimana cara memikirkannya (how to think about it). Mereka mengatur panggung dan menyorot aktor utama yang harus kita perhatikan.
Di era banjir informasi seperti sekarang, memahami framing menjadi sangat penting. Inilah inti dari literasi media kritis: kemampuan untuk mundur selangkah, melihat bingkai yang media sajikan, dan bertanya, “Aspek apa dari realitas ini yang sengaja media hilangkan atau tidak media tonjolkan?”
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia