JAKARTA, POSNEWS.CO.ID – Dramawan Yunani Kuno, Aeschylus, pernah berkata, “Kebenaran adalah korban pertama perang.” Hingga kini, kutipan itu tetap sangat relevan. Sebab, begitu konflik bersenjata dimulai, medan tempur kedua segera terbuka: medan perang informasi dan persepsi.
Propaganda bukanlah sekadar “kebohongan” atau efek samping yang tidak disengaja; melainkan senjata yang pemerintah rancang secara strategis dan sistematis. Pada akhirnya, perang untuk merebut opini publik di dalam dan luar negeri sama pentingnya dengan perang di garis depan.
Tujuan Utama Propaganda Perang
Propaganda memiliki tujuan yang spesifik dan seringkali brutal. Tentu saja, tujuannya bukan untuk menginformasikan, tetapi untuk memanipulasi emosi dan mengarahkan perilaku. Secara umum, ada tiga tujuan utama:
- Demonisasi Musuh: Pertama, propaganda harus melukis musuh sebagai sosok yang tidak manusiawi—barbar, iblis, atau ancaman eksistensial. Akibatnya, tindakan ini membuat pembunuhan terasa lebih mudah diterima secara moral oleh tentara dan publik.
- Membenarkan Perang (Justifikasi): Kedua, propaganda harus membangun narasi “perang yang adil” (just war). Sebagai contoh, pihak sendiri selalu berjuang untuk alasan mulia seperti “demokrasi”, “kebebasan”, “kedaulatan”, atau “membela tanah air”, bahkan jika mereka yang melakukan agresi.
- Menjaga Moral Publik/Tentara: Terakhir, propaganda wajib menjaga semangat juang di dalam negeri. Ia harus meyakinkan publik bahwa kemenangan sudah dekat, bahwa pengorbanan tidak sia-sia, dan bahwa tentara adalah pahlawan.
Teknik Propaganda Klasik
Untuk mencapai tujuan tersebut, negara menggunakan berbagai teknik klasik yang telah teruji waktu:
- Sensor Media: Langkah pertama adalah mengontrol aliran informasi. Pemerintah menyensor media, memblokir laporan kerugian di pihak sendiri, dan membungkam suara-suara disiden atau “pembela musuh”.
- Penyebaran Disinformasi: Selain itu, mereka secara aktif menyebarkan kebohongan atau setengah kebenaran. Misalnya, melebih-lebihkan jumlah korban musuh atau menciptakan cerita palsu tentang kekejaman musuh (atrocity propaganda).
- Simbol dan Slogan: Propaganda juga mengandalkan emosi, bukan logika. Oleh karena itu, penggunaan simbol (bendera, elang, beruang) dan slogan yang sederhana namun kuat (seperti “Remember the Maine!” atau “Loose Lips Sink Ships”) menjadi sangat efektif.
Troll Farms dan Deepfakes
Jika propaganda klasik membutuhkan poster dan siaran radio, maka era digital mempercepat penyebarannya secara eksponensial dan membuatnya lebih personal.
Media sosial menjadi medan tempur utama. Berbeda dengan koran, informasi menyebar dalam hitungan detik, seringkali tanpa verifikasi editor.
Troll Farms (Peternakan Troll): Lebih jauh lagi, negara-negara kini mengoperasikan “pabrik” troll yang mempekerjakan ribuan orang. Tugas mereka adalah membanjiri kolom komentar, memanipulasi tagar, dan menyerang jurnalis secara terkoordinasi untuk menciptakan ilusi konsensus.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Deepfakes (Video Palsu): Ancaman terbaru adalah deepfake. Teknologi ini memungkinkan siapa saja membuat video palsu yang sangat realistis—misalnya, video presiden yang mengumumkan kekalahan atau melakukan kejahatan. Akibatnya, “kabut perang” (fog of war) menjadi jauh lebih pekat.
Dari Poster WWII hingga Perang TikTok
Perbandingan dua konflik besar menunjukkan evolusi ini:
- Perang Dunia II (Propaganda Top-Down): Selama PDII, propaganda bersifat satu arah dan terkontrol ketat. Pemerintah AS membuat poster ikonik (seperti “Rosie the Riveter”) dan memproduksi film-film patriotik. Sementara itu, Nazi Jerman menggunakan radio dan film untuk mendehumanisasi musuh dan membangun kultus individu.
- Konflik Ukraina-Rusia (Propaganda Desentralisasi): Sebaliknya, konflik Ukraina-Rusia adalah perang media sosial skala besar pertama. Di satu sisi, Ukraina sangat berhasil menggunakan Telegram, X (Twitter), dan video TikTok. Mereka membangun citra heroik (misalnya, ‘Ghost of Kyiv’) untuk memenangkan simpati dan bantuan militer Barat. Di sisi lain, Rusia menggunakan troll farms dan media pemerintah (RT, Sputnik) untuk menyebarkan narasi tandingan, menyalahkan NATO, dan membenarkan invasi mereka kepada audiens global.
Literasi Media sebagai Pertahanan Diri
Pada akhirnya, propaganda telah berevolusi dari poster sederhana menjadi ekosistem disinformasi digital yang sangat kompleks dan personal. Kini, jauh lebih sulit bagi warga biasa untuk membedakan fakta dari fiksi.
Oleh karena itu, sebagai warga di era informasi, pertahanan terbaik kita bukanlah sensor, melainkan literasi media. Kita harus membangun kebiasaan skeptisisme yang sehat. Kita wajib memverifikasi sumber, memeriksa konteks, dan mempertanyakan narasi yang terlalu emosional. Sebab, dalam perang modern, pikiran kitalah adalah wilayah yang mereka perebutkan.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















