ROMA, POSNEWS.CO.ID —Bagi miliaran orang, hari dimulai dengan cairan hitam yang sama: kopi. Namun, cara kita mengonsumsinya adalah sebuah ritual yang sangat berbeda, sebuah cermin yang jujur dari ritme hidup dan nilai-nilai yang melekat dalam sebuah budaya.
Minuman ini lebih dari sekadar kafein. Di beberapa negara, kopi adalah “bahan bakar” untuk efisiensi. Di tempat lain, ia adalah alasan untuk berhenti sejenak dan bersosialisasi. Mari kita lihat bagaimana orang-orang di seluruh dunia menafsirkan satu biji kopi yang sama secara berbeda.
Kopi sebagai “Bahan Bakar”
Di Italia, terutama di kota-kota sibuk seperti Roma atau Milan, kopi adalah urusan yang cepat dan fungsional. Ritualnya berpusat di bar. Orang Italia akan masuk, memesan un caffè (yang otomatis berarti espresso), meminumnya dalam dua atau tiga tegukan cepat sambil berdiri, membayar, dan pergi. Semuanya seringkali selesai dalam lima menit.
Di sini, kopi adalah “bahan bakar” murni. Ini adalah hentakan kafein yang presisi untuk melanjutkan hari. Duduk berlama-lama, apalagi memesan cappuccino setelah jam 11 pagi, adalah hal yang aneh bagi mereka. Kopi adalah kecepatan.
Konsep Fika yang Santai
Bergeser ke utara, kita menemukan filosofi yang berlawanan di Skandinavia, terutama Swedia, dengan konsep Fika. Fika bukanlah sekadar “rehat kopi”; ini adalah ritual sosial yang sakral. Ini adalah mandat untuk berhenti sejenak dari pekerjaan dan bersantai.
Fika adalah kata kerja sekaligus kata benda. Ini adalah momen yang orang jadwalkan secara sadar, seringkali dua kali sehari, di mana rekan kerja atau teman berkumpul. Mereka meninggalkan meja kerja, menikmati kopi (biasanya kopi saring yang ringan), dan wajib menikmatinya bersama kue atau roti kayu manis (kanelbulle). Fika adalah tentang koneksi sosial dan perlambatan tempo, sebuah bagian integral dari budaya kerja yang sehat.
Seni Menikmati Kopi Tetes
Di Vietnam, kopi adalah tentang kesabaran. Metode penyajian paling ikonik adalah menggunakan phin, sebuah filter tetes logam kecil yang orang letakkan di atas gelas. Gelas itu seringkali sudah berisi lapisan kental susu kental manis di dasarnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ritualnya adalah menonton tetesan kopi gelap pekat itu jatuh perlahan dan memenuhi gelas, sebuah proses yang bisa memakan waktu 10 hingga 15 menit. Orang menikmati kopi ini perlahan, mengaduknya agar rasa pahit pekatnya berpadu dengan manisnya susu. Ini adalah antitesis dari espresso Italia; ini adalah kopi yang memaksa Anda untuk duduk diam dan menunggu.
Kesimpulan
Dari espresso yang orang minum terburu-buru di Roma, fika yang komunal di Stockholm, hingga kopi phin yang meditatif di Hanoi, kita melihat pelajaran yang jelas. Kopi lebih dari sekadar biji. Ia adalah cerminan budaya.
Satu minuman yang sama bisa mewakili efisiensi, koneksi sosial, atau kesabaran. Cara kita minum kopi, pada akhirnya, menunjukkan cara kita menjalani hidup.
Penulis : Ahmad Haris Kurnia
Editor : Ahmad Haris Kurnia





















